Pada suatu pagi yang dingin di bulan Oktober 2013, Diana Six memarkir mobil Subaru putihnya di tepi hutan pinus di Lembah Big Hole, Montana barat daya. Di bawah puncak berselimut salju, hutan Pinus contorta menyelimuti bukit dalam empat warna—empat tahap pembantaian. Yang kelabu, kini tinggal batang dan cabang, mati tahun 2009. Yang berwarna merah muda, masih berdaun, mati tahun 2011. Pohon yang cokelat kemerahan mati tahun 2012. Bahkan pohon hijau yang tampak sehat, menurut Six, ahli entomologi berambut ekor kuda di University of Montana yang hobi binaraga dan membuat bir, tidak sesehat yang terlihat. Kira-kira seperempatnya sudah meregang nyawa.
Six melenggang ke dalam hutan sambil membawa kapak. Dia berhenti di jajaran pinus yang warnanya bercampur hijau dan oranye tua. Dengan kapak, dia perlahan mengupas pepagan dari pohon yang berwarna hijau, memperlihatkan kayu putih di baliknya. Itu dia, di dalam alur kecil di permukaan kayu, terlihat larva hitam kecil seukuran biji wijen. Meskipun pohon itu masih tampak baik, floemnya, lapisan serat di bawah pepagan yang mengangkut zat hara, sudah mengering dan berwarna cokelat.
Six pindah ke pohon berikutnya yang tampak masih sehat. Floemnya tampak merah muda kehijauan dan lentur, jelas belum kering. Namun, di beberapa tempat terlihat alur larva kumbang seperti pada pohon sebelumnya. Dari ukuran lorong dan sedikitnya jumlah larva, Six menyimpulkan bahwa pohon ini baru diserang seminggu sebelumnya.
Cerita yang sama terjadi di seantero bagian barat Amerika Utara, di jutaan hektare hutan pinus. Apabila kita berkunjung ke beberapa tempat di Colorado, akan kita saksikan hutan yang menutupi seluruh lereng gunung seakan tampak berkarat. Hampir semua pinus mati oleh musuh yang lebih kecil daripada paku payung: kumbang pinus gunung (Dendroctonus ponderosae). Di British Columbia skala kerusakannya bahkan lebih mengerikan. Sekitar 180.000 kilometer persegi hutan pinus di sana, hampir seluas Kalimantan Timur, mengalami serangan kumbang dalam berbagai tingkat keparahan selama 15 tahun terakhir.
Alam memang selalu berubah. Meskipun demikian, serangan kumbang pinus gunung menunjukkan gelagat yang meresahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan global dapat mendorong spesies asli sekalipun untuk merusak ekosistem. “Kita harus melihat hal ini sebagai pertanda bencana yang menanti kita di masa depan,” kata Six. “Kita akan melihat kehancuran ekosistem satu demi satu.”
!break!Berbeda dengan organisme lain yang menyerbu Amerika—ikan karper, kacang ruji—kumbang pinus gunung bukanlah hewan pendatang. Kumbang ini penduduk asli hutan pinus barat, tempat hewan ini biasanya hidup dalam jumlah yang relatif kecil, membunuh satu atau dua pohon. Sesekali jumlah kumbang ini melonjak, dan karena itu menghabisi hutan yang cukup luas. Akan tetapi, biasanya terbatas dalam satu wilayah—tidak meluas hingga setengah benua seperti sekarang.
Skala epidemi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak 1990-an lebih dari 243 juta hektare hutan, dari New Mexico utara hingga British Columbia, yang mati akibat serangan kumbang ini. Saat wabah di British Columbia mereda nanti, mungkin sekitar 60 persen pohon pinus dewasa di provinsi itu mati. Itu berarti kayu sebanyak satu miliar meter kubik.
Pepohonan bukan korban satu-satunya. Kematian hutan mengacaukan semuanya, mulai dari jaring makanan hingga perekonomian setempat. Di British Columbia, kota-kota yang mengandalkan industri perkayuan mulai mengalami kesulitan ekonomi; di Taman Nasional Yellowstone beruang dan burung kehilangan sumber makanan yang berlimpah. Tanpa penahan, tanah pun mengalami erosi.
Nasib baik kumbang pinus gunung saat ini merupakan buah perbuatan manusia. Selama abad terakhir ini kita sibuk mengatasi kebakaran hutan sehingga mengubah hutan menjadi lumbung kumbang. Ketika krisis bermula, hutan British Columbia ditumbuhi tiga kali lebih banyak pinus dewasa dibanding jika ada kebakaran hutan alami. Seperti halnya kumbang pinus gunung, kebakaran hutan juga merupakan hal yang lazim terjadi di hutan barat, dan itu sama pentingnya dengan hujan bagi kesehatan hutan. Kebakaran menyuburkan tanah, menyebarkan benih, menciptakan bukaan untuk sinar matahari, memastikan tersedianya habitat untuk makhluk hidup.
!break!Menurut Allan Carroll, ahli ekologi serangga di University of British Columbia, hanya 17 persen hutan pinus British Columbia yang rentan terhadap serangan kumbang itu seabad yang lalu. Pada pertengahan 1990-an angka itu meningkat menjadi lebih dari 50 persen. Namun lonjakan jumlah pohon dewasa yang rentan bukan sebab satu-satunya kematian seantero pegunungan di sepuluh negara bagian AS dan dua provinsi Kanada. Kerentanan itu memperparah epidemi—tetapi perubahan iklimlah yang memicu hal tersebut. Kumbang itu memetik hasil ulah manusia yang memanaskan seluruh planet ini dengan emisi karbon dioksida.
Meningkatnya suhu dan kekeringan menciptakan tekanan bagi pohon, sehingga tidak kuasa melawan serangan serangga. Cuaca yang lebih hangat juga menggenjot populasi kumbang dan sangat memperluas kawasannya. Satwa ini berkembang semakin ke utara dan ke elevasi yang kian tinggi, menyerang berbagai pohon pinus, seperti Pinus banksiana dan P. albicaulis, yang jarang bertemu kumbang ini sampai beberapa tahun lalu. Tiga perempat dari Pinus albicaulis dewasa di Taman Nasional Yellowstone sekarang mati. Ini bencana bagi beruang grizzly, yang memakan biji pinus itu pada musim gugur. Pun, demikian burung Nucifraga columbiana, yang menyimpan bijinya sebagai cadangan makanan musim dingin.
Apa mau dikata, saat ini kumbang itu sudah menyerang Pinus banksiana. Serangga itu telah bercokol di Alberta dan ke timur hingga Saskatchewan dan ke utara hingga Yukon dan Northwest Territories. Tidak seperti Pinus contorta, P. banksiana menyebar ke timur hingga Nova Scotia dan ke selatan hingga bagian utara Midwest AS dan New England.
“Apakah kumbang ini akan menyebar ke seluruh benua?” tanya Carroll. Rekan sejawatnya menyebutnya Dr. Musibah—kalau dia menemui pejabat setempat, kemungkinan besar hutan di situ akan musnah. Dia menjawab pertanyaannya sendiri: “Ya.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR