Sekarang sudah jutaan orang yang melihat hewan jepretan Sartore. Orang beradu pandang dengan berbagai hewan tersebut di Instagram, di majalah ini, dalam film dokumenter, dan diproyeksikan ke dinding beberapa gedung penting dunia: Empire State Building, markas besar PBB, dan, terakhir, Basilika Santo Petrus.
Ada banyak cara untuk memotret binatang, sama banyaknya dengan jumlahnya, tapi Sartore menetapkan beberapa parameter dasar. Semua potret diambil dengan latar belakang hitam atau putih. “Ini merupakan penyeragam,” katanya. “Beruang kutub tidak lebih penting daripada celurut.”
Hewan besar difoto di dalam kandangnya, Sartore menggantung tirai hitam raksasa sebagai latar, atau mengecat dindingnya.
Hewan kecil ditempatkan dalam kotak berdinding empuk, lalu Sartore menyelipkan lensa kameranya melalui celah di dindingnya. “Ada yang tertidur atau makan di dalam kotak itu,” katanya. “Sebagian besar tidak suka.” Dia mengupayakan sesi pemotretan sesingkat mungkin, paling lama beberapa menit.
Sartore tidak memasukkan sendiri satwa-satwa yang hendak difotonya; hal itu ditangani oleh pawang kebun binatang.Jika “hewan itu menunjukkan tanda-tanda stres, pemotretan dihentikan,” katanya. “Keselamatan dan kenyamanan hewan selalu diutamakan.” Tidak ada satupun yang cedera.
Sayangnya Sartore tak seberuntung itu. “Sekali waktu ada bangau yang mencoba mematuk mata saya,” katanya. “Seram sekali.” Monyet dukun, primata yang kuat, meninju mukanya.Enggang jambul—“burung terganas dan paling menyusahkan”—mematuknya hingga berdarah.“Namun, bisa dikata memang saya sendiri yang mencari gara-gara.” ujarnya.
Joel dan Kathy Sartore duduk berdampingan di meja dapur di Lincoln dengan lampu diredupkan.Joel merangkul bahu istrinya. Joel pulang dari Madagaskar malam sebelumnya (dia mulai bepergian lagi pada 2007) dan minta Kathy membantunya memilih foto lemur langka dan itik yang akan dipasang di Instagram. “Hal yang menarik bagi orang adalah unsur manusiawinya,” kata Kathy, yang sering menjadi editor foto suaminya.
Sartore dibesarkan tidak terlalu jauh dari Lincoln, di Ralston, Nebraska.Kedua orang tuanya mencintai alam.Ayahnya mengajaknya mencari jamur pada musim semi, memancing pada musim panas, dan berburu pada musim gugur.Ibunya, yang meninggal musim panas lalu, memberinya buku terbitan Time-Life tentang burung ketika dia berusia sekitar delapan tahun yang mungkin mengubah jalan hidupnya.Di bagian belakang yang membahas kepunahan, ada gambar Martha, merpati penumpang terakhir di dunia. Dia ingat sering membaca kembali halaman tersebut: “Saya tidak habis pikir, satwa yang jumlahnya miliaran itu bisa punah.”
Kanker Kathy muncul lagi pada 2012; dia menjalani masektomi ganda. Pada tahun yang sama, putra mereka Cole, yang berusia 18 tahun, didiagnosis menderita limfoma. Keduanya sembuh, tetapi penyakit itu menimbulkan dampak permanen. “Kami jadi tidak merisaukan banyak hal lagi,” kata Sartore.
Proyek Photo Ark juga mengubah dirinya. “Proyek ini membuat saya amat menyadari kefanaan hidup saya,” katanya. “Saya bisa menaksir waktu yang diperlukan untuk merampungkan proyek ini.” Jika dia tidak sempat—masih ada ribuan spesies yang harus dipotret—Cole akan meneruskan jejak langkahnya. “Saya ingin proyek ini bermanfaat,” ujar Sartore, “lama setelah saya tiada.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR