Saat film dokumenter Blue Water, White Death diputar di bioskop AS pada 1971, adegan hiu putih yang menabrak kandang selam mendadak populer. Namun, 45 tahun kemudian, yang paling menarik perhatian adalah adegan hiu whitetip atau hiu koboi mengerubungi bangkai paus di lepas pantai Afrika Selatan.
Ada dua alasan peristiwa ini dianggap istimewa: pertama, karena para penyelam meninggalkan perlindungan kandang untuk mengabadikan hiu dengan film—diyakini inilah pertama kalinya ada orang yang melakukan teknik ini di tengah hiu yang sedang makan. Alasan kedua, karena adegan itu mungkin tidak dapat diulangi. “Kami tidak dapat menghitung jumlahnya, hiunya banyak sekali,” kata Valerie Taylor, salah satu penyelam. “Tidak akan ada lagi adegan seperti ini—tidak selama masa hidup saya. Entah nanti di masa depan, tetapi rasanya kecil kemungkinannya.”
Dahulu hiu koboi dianggap salah satu hiu pelagis (laut lepas) yang paling banyak. Sebuah buku babon terbitan 1969, The Natural History of Sharks, bahkan menyebutnya “mungkin hewan besar yang paling melimpah di muka bumi, dengan berat masing-masing lebih dari 45 kilogram.” Hiu ini kini hampir punah karena penangkapan ikan komersial dan perdagangan sirip hiu—tetapi kalangan ilmuwan tidak terlalu memberi perhatian, apalagi masyarakat umum.
“Kita benar-benar menghabisi spesies ini dalam skala global,” kata Demian Chapman, salah satu dari sedikit ilmuwan yang meneliti hiu. “Ironisnya, saat saya menyebut ‘hiu koboi’, tidak banyak orang yang tahu yang saya bicarakan.”
Jika Anda pernah menonton Jaws, pasti kenal hiu koboi ini. Spesies hiu inilah yang mungkin paling banyak menyerang awak kapal U.S.S. Indianapolis yang ditenggelamkan kapal selam Jepang menjelang akhir Perang Dunia II—peristiwa yang dikenal generasi sekarang karena monolog Kapten Quint tentang pengalamannya terkatung-katung di laut. Semua terangkum dalam kalimat terakhirnya: “Seribu seratus orang masuk ke air, 316 selamat, sisanya dimakan hiu.”
Masalahnya, dalam cerita Quint tersebut, meskipun faktanya cukup mendekati, cerita itu tidak menggambarkan pengalaman para awak kapal tersebut. Fakta berikut memang benar: Dari hampir 1.200 awak kapal Indianapolis, sekitar 900 berhasil terjun ke laut, dan sebagian besar dari mereka tewas akibat penderitaan lima hari selanjutnya. Hanya 317 yang selamat. Memang ada hiu—banyak jumlahnya—dan terjadi serangan hiu yang mengerikan.
Akan tetapi, ketika saya menanyai Cleatus Lebow, 92, yang menjadi awak di Indianapolis, apa hal tersulit selama terombang-ambing di lautan, bahkan sebelum saya selesai bertanya dia sudah menjawab, “Rasa haus. Saya rela memberikan apa saja demi secangkir air.” Bagaimana dengan hiu? “Terkadang ada hiu yang berenang di sekitar kami, tetapi tidak mengganggu.” Lyle Umenhoffer, 92, berkata kepada saya, “Kami harus waspada ketika ada hiu, dan jika terlalu dekat, kami menendangnya agar menjauh. Namun, rasanya saya tidak benar-benar takut pada hewan itu. Kami punya masalah lain.”
Harus dicatat bahwa saat mereka dise-lamatkan, para korban itu tersebar di area seluas lebih dari 250 kilometer persegi, dan pengalaman mereka beragam. Dan kita juga harus ingat bahwa awak yang tewas mungkin memiliki kisah yang berbeda. Namun, tidak seorang pun di antara orang yang saya ajak bicara pada reuni penyintas musim panas lalu—14 dari 31 korban yang masih hidup dapat hadir, dan saya mewawancarai sebagian besar dari mereka—yang mengkhawatirkan hiu selama masa penuh penderitaan itu. Secara teknis, Quint benar bahwa “sisanya”—yaitu orang yang tewas di laut— dimakan hiu, tetapi kebanyakan dari mereka sebetulnya meninggal karena penyebab lain: cedera, hipotermia, tenggelam, dehidrasi, dan keracunan air laut. “Saya melihat ada yang mati dimakan hiu—ada beberapa,” kata korban selamat Dick Thelen, 89. Namun, dia melihat dua atau tiga kali lipat orang yang mati akibat minum air laut. Dalam kata salah seorang peserta reuni itu kepada saya, “Quint tidak menyebut apa-apa soal haus.”
Sangat penting untuk meluruskan fakta karena penggambaran hiu koboi sebagai pembunuh rakus—dan karenanya tidak pantas dilindungi—mungkin berdampak buruk bagi spesies ini. Di darat, efek hilangnya predator dominan sudah dipahami: malapetaka ekologi.
Apa dampak hampir lenyapnya hiu koboi terhadap ekosistem laut tempat hewan ini dahulu berperan penting? Belum ada yang tahu sama sekali. Demikian sedikit penelitian yang dilakukan mengenai spesies ini sehingga untuk memahami riwayat penurunan populasinya pun—apalagi dampak penurunannya terhadap spesies lain—terasa seperti menyusun permainan bongkar pasang yang kurang kepingnya. Dan, jika kita salah mengira hiu ini sebagai penjahat, maka kita tidak akan merasakan urgensi untuk menemukan keping yang kurang tersebut. Jika kapal Indianapolis tenggelam pada masa sekarang, hampir dapat dipastikan bahwa awaknya tidak akan dirubung oleh kawanan hiu koboi.
perintis penyelaman scuba Jacques Cousteau pernah menyebut hiu koboi sebagai “hiu yang paling berbahaya”, tetapi penyelam yang sering berinteraksi dengan hiu cenderung memiliki penilaian yang berbeda. Stan Waterman, penyelam lain dari ekspedisi Blue Water, White Death, mengatakan bahwa penyelaman itu unik sebagian karena mereka akhirnya melihat perilaku hiu koboi yang sebenarnya, alih-alih yang selama ini kita bayangkan. “Itu adalah pengalaman belajar yang besar,” katanya, “karena kami tidak yakin apa yang akan terjadi ketika kami keluar dari kandang.”
Mereka menemukan hal yang sama dengan yang banyak dilaporkan korban Indianapolis: Hiu koboi tidak takut mendekati dan menubruk manusia, tetapi jika kita tetap berkelompok dan mengusirnya, hiu itu tidak akan menyerang. “Kami diperiksa ratusan kali,” kata Valerie Taylor, “dan akhirnya kawanan hiu itu memutuskan bahwa kami tidak menarik, lalu pergi.”
Dengan panjang dua setengah sampai empat meter saat dewasa, hiu koboi tentu cukup berbahaya, dan hewan ini berani serta gigih. Laut lepas merupakan gurun ekologi, dan hiu koboi beradaptasi untuk menghabiskan energi sekecil mungkin untuk menjelajahinya, dan waktu sebanyak mungkin untuk menyelidiki temuannya yang mungkin bisa dimakan. Jadi hiu ini meluncur di air dengan sirip dada panjang yang mirip sayap. Ketika menemukan potensi sumber makanan—pelaut yang panik di sekitar kapal karam, ikan paus mati, kawanan tuna—dia memeriksanya dengan sungguh-sungguh. Jika Anda satu-satunya makanan di situ, hiu koboi sangat berbahaya. Jika tidak, paling hanya menimbulkan rasa takut.
Salah satu anekdot yang paling menarik tentang perilaku hiu koboi justru tidak ada hubungannya dengan kapal karam atau penyelam. Pada 1950-an, peneliti perikanan di Teluk Meksiko kaget ketika mereka membelek perut hiu koboi dan menemukan tuna seberat 2,5 dan 4,5 kilogram di dalamnya, karena hiu tidak cukup cepat untuk memburu tuna kecil. Lalu suatu hari mereka melihat sekelompok besar hiu koboi berenang melintasi kawanan tuna, di permukaan, dengan mulut terbuka. “Hiu tersebut tidak berusaha mengejar atau menggigit ratusan tuna itu,” tulis para peneliti. “Hiu koboi hanya menunggu dan siap-siap kalau ada tuna yang tanpa sadar berenang atau melompat ke dalam mulutnya.”
Tentu saja, tipis kemungkinan untuk menyaksikan perilaku seperti itu pada masa sekarang, dan ironi besarnya adalah bahwa para peneliti yang mencatat peristiwa ini justru membuka jalan bagi kebinasaannya. “Mereka melakukan survei untuk mengetahui jenis perikanan komersial yang dapat dikembangkan di perairan AS,” kata Julia Baum, ahli ekologi kelautan yang membandingkan data dari tahun 1950-an dengan data tangkapan pancing rawai baru-baru ini. Hal ini dilakukan untuk mengukur perubahan populasi hiu koboi di Teluk Meksiko. “Saat itu mereka memasang pancing rawai untuk tuna, sementara hiu ada di mana-mana,” memakan tuna yang terpancing dan akhirnya ikut terkail. “Mereka tidak yakin AS mampu mengembangkan perikanan tuna komersial karena ada demikian banyak hiu.”
Mereka menemukan dua solusi: menembak hiu sebelum sempat makan tuna yang terpancing, dan memasang pancing lain untuk menangkap ikan hiu, yang mereka tahu siripnya berharga mahal. Dan gabungan kedua hal itu—ketidakpedulian terhadap hiu serta peningkatan permintaan sup hisit di Asia—menyusutkan populasi hiu global dalam beberapa dekade terakhir dan melorotkan jumlah hiu koboi secara drastis. Pada 2004, penelitian Baum membawanya ke kesimpulan bahwa populasi hiu koboi berkurang 99 persen di Teluk Meksiko, dan meskipun ada perdebatan mengenai hasil penelitiannya, beberapa penelitian lain menemukan penurunan dramatis yang sama di Atlantik dan Pasifik.
Pada 2010 semakin jelas bahwa hiu koboi berada dalam bahaya sehingga lima organisasi perikanan internasional yang mengawasi penangkapan tuna dan todak melarang kapal menyimpan hiu koboi—satu-satunya spesies hiu yang menerima perlindungan ini sampai saat ini. Pada 2013, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES) memberlakukan pembatasan sangat ketat terhadap perdagangan legal sirip hiu.
Pertanyaannya adalah apakah perlindungan itu memadai dan belum terlambat. Banyak populasi ikan bertulang-sejati dapat pulih dengan cepat setelah mengalami penangkapan berlebihan, karena ikan itu bertelur relatif awal dalam siklus hidupnya dan sekali bertelur jumlahnya ribuan. Sementara, sebagian besar hiu lambat mencapai kematangan seksual dan hanya melahirkan sedikit anak setiap satu atau dua tahun. Faktor ini membuatnya sangat rentan terhadap penangkapan berlebih dan mudah terancam kepunahan. Dan dalam kasus hiu koboi, “kita bahkan masih belum tahu hiu ini melahirkan setiap tahun atau setiap dua tahun,” kata ahli biologi kelautan Edd Brooks. “Bagaimana cara kita melestarikan suatu spesies sementara begitu sedikit informasi yang kita ketahui tentang hidupnya?”
Brooks anggota tim peneliti yang sejak 2010 memasang pelacak dan meneliti hiu koboi di lepas pantai Pulau Cat, di Kepulauan Bahama. “Pulau Cat merupakan lokasi terakhir di bumi yang diketahui sering dikunjungi hiu ini dalam jumlah besar,” ujarnya. Penelitian terhadap spesies ini baru pertama kali ini dilakukan, dan bukan hanya baginya atau rekan-rekannya. Memang belum pernah ada yang melakukannya.
Pulau Cat terletak tepat di tepi paparan benua, sehingga dekat dengan laut dalam Atlantik dan membuatnya menjadi tempat yang tepat untuk menemukan ikan pelagis besar. Sekitar 10 tahun lalu bertiup kabar bahwa nelayan di Pulau Cat diganggu hiu koboi yang mencuri tangkapan mereka. Fotografer Brian Skerry menyadari bahwa ini kesempatan langka dan meminta operator selam membantunya memotret hiu di dalam laut. Keberhasilan mereka membuahkan penyelaman rutin di lepas pantai Pulau Cat. Beritanya mulai tersiar, dan ilmuwan pun ikut beraksi.
“Ini proyek yang sudah lama kami inginkan,” kata ahli biologi kelautan Lucy Howey. “Tidak ada yang menduga hal ini akan terjadi, karena kami kira tidak ada lagi populasi hiu koboi yang seperti ini.”
Tim Howey, termasuk di dalamnya Brooks dan Demian Chapman, memasang alat pelacak satelit pada hampir seratus hiu koboi, yang merekam pola pergerakan dan data lainnya. Mereka membuat beberapa penemuan penting: Pertama, meskipun hiu berkeliaran ke seantero Atlantik, hewan ini menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan yang dilindungi di Bahama, tempat pancing rawai dilarang pada 1990-an dan larangan perdagangan komersial untuk semua hiu diberlakukan pada 2011.
Kedua, hiu koboi menghabiskan 93 persen waktunya di antara permukaan dan kedalaman seratus meter ketika tuna dan ikan lainnya melimpah pada kedalaman tersebut. Jadi pengaturan penangkapan ikan pada kedalaman itu dapat membantu pelestariannya.
Namun, temuan ketiga mengkhawatirkan: Populasi yang sering datang ke Pulau Cat mungkin hanya 300 ekor. Setelah lima tahun melakukan pemasangan pelacak, tingginya jumlah individu yang ditangkap kembali menunjukkan bahwa hiu yang hidup di perairan ini jauh lebih sedikit daripada dugaan awal.
Mari kita resapi: Mungkin lebih banyak hiu koboi yang mengerumuni bangkai paus dalam film Blue Water, White Death dalam satu hari daripada yang ada di benteng terakhir spesies ini selama setahun.
Ada kemungkinan terdapat populasi yang relatif sehat di tempat lain. Hiu koboi sering terlihat di Laut Merah, di Kepulauan Cayman, dan sekitar Hawaii. Namun, yang terlihat di wilayah tersebut biasanya individu tunggal atau kelompok yang sangat kecil, sehingga tidak mungkin memperkirakan jumlah keseluruhannya.
Howey mengatakan bahwa yang penting sekarang adalah menemukan tempat hiu melahirkan. Hal keempat yang ditemukan timnya ialah banyak dari hiu koboi di lepas pantai Pulau Cat adalah betina hamil. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa hiu melahirkan di sana. “Kami belum pernah melihat anak hiu di Bahama,” katanya. “Jika kita tahu tempat hiu ini melahirkan, kita dapat melindungi daerah tersebut. Demikianlah cara kita mendukung upaya melindungi spesies ini.”
Kita tidak dapat memundurkan waktu. Laut yang relatif perawan pada 1950-an, sekarang sulit dibayangkan. Namun, Kuba, yang membentang dari Bahama selatan ke Teluk Meksiko, mungkin dapat menjadi jembatan ke masa lampau. Embargo perdagangan oleh AS selama lebih dari 50 tahun tidak hanya memperlambat pembangunan ekonomi Kuba; tetapi juga menghambat eksploitasi sumber daya alam, dan hasilnya kawasan konservasi laut di Kuba merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Pemerintah Kuba tengah mengembangkan rencana konservasi hiu. Selama enam tahun terakhir para ilmuwan Kuba melakukan survei mengenai hiu yang ditangkap nelayan. Di pantai utara Kuba, dekat desa kecil Cojimar, nelayan menangkap hiu dalam jumlah besar. Spesies terbanyak ketiga yang mereka dapat: hiu koboi. Sebagian besar belum dewasa, beberapa bahkan masih kecil.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR