Tak banyak yang dapat dilihat di kota kuno Holmul. Bagi orang awam yang melihat sekilas, tempat ini hanyalah perbukitan terjal berselimutkan hutan di tengah rimba di bagian utara Guatemala, dekat perbatasan Meksiko. Rimba di Basin Petén ini lebat dan hangat, tetapi lebih kering ketimbang yang kita perkirakan. Juga sunyi, selain derik tonggeret dan sesekali teriakan monyet peraung.
Perhatikanlah dengan lebih saksama, maka kita bisa melihat bahwa sebagian besar bukit itu tersusun dalam lingkaran besar, tak ubahnya pengelana yang berkerumun mengelilingi api unggun pada malam yang dingin. Lihat lebih dekat lagi, maka terungkaplah bahwa sebagian dari bukit-bukit itu terbentuk dari potongan batu dan beberapa di antaranya memiliki terowongan yang digali masuk dari lerengnya. Sesungguhnya ini sama sekali bukan perbukitan, melainkan piramida kuno, terbengkalai dan lapuk setelah runtuhnya peradaban Maya satu milenium silam.
Situs ini merupakan permukiman yang makmur selama masa Maya Klasik (250-900 M), masa ketika tulisan dan kebudayaan berkembang pesat di segenap daerah yang kini menjadi Amerika Tengah dan Meksiko bagian selatan.
Situs ini merupakan permukiman yang makmur selama masa Maya Klasik (250-900 M), masa ketika tulisan dan kebudayaan berkembang pesat di segenap daerah yang kini menjadi Amerika Tengah dan Meksiko bagian selatan. Namun, masa itu juga merupakan masa pergolakan politik: Dua negara-kota yang berseteru terbelit dalam konflik tak berkesudahan, bergumul demi memperoleh kekuasaan tertinggi. Dalam waktu yang singkat, salah satu negara-kota itu unggul dan membentuk sesuatu yang paling mirip dengan kekaisaran dalam sejarah orang Maya. Negeri itu dikuasai oleh raja-raja Ular dari wangsa Kaanul, yang sampai hanya beberapa dasawarsa silam keberadaannya bahkan tak diketahui siapa pun. Berkat situs-situs di sekitar negara-kota ini, termasuk Holmul, kini arkeolog menyusun kembali kisah raja Ular.
Holmul bukanlah situs yang besar dan terkenal seperti Tikal yang ada di dekatnya. Tempat ini sering kali diabaikan oleh para arkeolog sampai pada 2000, ketika Fransisco Estrada-Belli, tiba. Lelaki berkebangsaan Guatemala yang lahir di Italia ini berparas tampan, dengan rambut tak beraturan dan pembawaan yang santai. Ia tidak mencari sesuatu yang wah, seperti prasasti dari masa Klasik atau makam penuh hiasan—hanya mencari penjelasan tentang asal-usul orang Maya. Salah satu hal pertama yang ia temukan adalah sebuah bangunan, beberapa kilometer jauhnya dari yang kelihatannya adalah kelompok piramida utama Holmul. Di situ ada sisa mural atau lukisan dinding yang memperlihatkan gambar sejumlah prajurit dalam perjalanan menuju tempat amat jauh.
Anehnya, bagian dari mural itu dihancurkan, kelihatannya oleh orang Maya sendiri. Seolah mereka ingin menghapus sejarah yang digambarkannya. Estrada-Belli pun menggali terowongan di sejumlah piramida di dekat situ. Orang Mesoamerika kuno membangun piramida mereka berlapis-lapis, satu lapisan di luar lapisan yang lama, seperti boneka kayu matryoshka Rusia. Saat penduduk Holmul menambahkan lapisan baru, mereka menjaga baik-baik lapisan di bawahnya. Peneliti pun bisa membuat terowongan dan melihat struktur lama di bawahnya, berbentuk nyaris persis sebagaimana stuktur itu ditinggalkan.
Pada 2013, Estrada-Belli dan timnya bekerja memasuki salah satu piramida yang lebih besar, menelusuri alur sebuah undak-undakan kuno menuju pintu masuk sebuah bangunan tempat upacara. Setelah naik melalui sebuah lubang di lantai, mereka menemukan relief sepanjang delapan meter, dengan kondisi amat bagus, di atas pintu masuk makam kuno.
Relief berlapis plester sangatlah langka dan rapuh. Relief yang satu ini memperlihatkan tiga orang pria, termasuk seorang raja Holmul, yang muncul dari mulut monster aneh yang didampingi oleh makhluk dunia bawah, dilingkari oleh dua ular raksasa berbulu. Karya seni ini megah dan amat meriah.
Saat Estrada-Belli memandangi relief itu, ia mengamati serangkaian pahatan di bagian bawah. Sambil berlutut, ia melihat deretan karakter kata, atau glif, berisikan daftar raja-raja Holmul. Agak di tengah deretan itu ada sebuah glif yang langsung ia ketahui sebagai penemuan paling cemerlang dalam kariernya: seekor ular yang menyeringai.
“Di antara berbagai glif, saya melihat [nama] Kaanul,” ujarnya. Tiba-tiba saja, kami berada di tengah-tengah bagian yang paling menarik dalam sejarah Maya.”
Kisah tentang penemuan Kaanul, atau para Ular, dan usaha mereka untuk membangun sebuah kekaisaran dimulai di Tikal, kota besar dari musuh yang paling mereka benci. Sebagaimana Tikal mendominasi dataran rendah Maya selama berabad-abad, tempat itu juga mendominasi arkeologi Maya sejak 1950-an. Kota yang luas itu pernah memiliki populasi mencapai 60.000 jiwa, dan bangunan anggunnya sungguh membuat pengunjung pada 750 M terpana, seperti halnya mereka memukau para wisatawan masa kini.
Tikal juga memiliki ratusan balok prasasti serupa batu nisan penuh pahatan indah yang disebut stela. Dengan menggunakan inskripsi di stela itu, para ilmuwan merekonstruksi sejarah Tikal sampai kejatuhannya di abad ke sembilan. Akan tetapi, ada celah aneh—sekitar tahun 560 sampai 690—saat tak ada stela yang dipahat dan hanya sedikit hal lain yang dibangun. Dibingungkan oleh jeda selama 130 tahun ini, para arkeolog menyebutnya sebagai hiatus atau jeda Tikal dan menjadikannya sebuah misteri Maya kuno.
Para arkeolog mulai mengisi masa kosong ini pada 1960-an, ketika mereka menyadari adanya sebuah glif aneh yang tersebar di area berbagai situs Klasik—sebuah kepala ular dengan seringai serupa badut dan dikelilingi tanda-tanda yang berhubungan dengan kerajaan.
Para arkeolog mulai mengisi masa kosong ini pada 1960-an, ketika mereka menyadari adanya sebuah glif aneh yang tersebar di area berbagai situs Klasik—sebuah kepala ular dengan seringai serupa badut dan dikelilingi tanda-tanda yang berhubungan dengan kerajaan. Pada 1973, arkeolog Joyce Marcus mengenalinya sebagai glif emblem—kata yang mewakili sebuah kota atau gelar kekuasaan dan berfungsi sebagai semacam panji-panji kebesaran. Ia pun bertanya-tanya apakah glif ini ada hubungannya dengan masa hiatus Tikal. Bagaimana jika sejumlah pejuang tak dikenal telah menaklukkan kota itu?
Hutan rimba Petén kering kerontang pada musim kemarau serta nyaris tak dapat dilewati pada musim hujan. Di sana terdapat banyak tumbuhan dan serangga beracun, serta ancaman dari penyelundup narkoba yang memiliki senjata. Namun demikian, Marcus tetap saja menjelajahinya selama berbulan-bulan, menyambangi reruntuhan dan mengumpulkan foto-foto berbagai glif. Ke mana pun ia pergi, wanita ini melihat hal yang mengacu kepada si ular yang menyeringai, terutama di sekitar kota kuno Calakmul, di daerah yang kini menjadi Meksiko.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR