Ada ahli yang berpendapat bahwa Cakar Api adalah orang yang seperti itu. Kemungkinan besar dia telah menjalankan kerajaan itu lama sebelum ayahnya tiada. Namun, sebagaimana putra para raja besar lainnya, ia kalah jauh dari ayahnya. Meski menerima berkali-kali kekalahan telak, Tikal bangkit lagi pada 695. Kali ini Tikal dipimpin oleh seorang raja muda dengan nama amat mengesankan, Dewa yang Menyapu Bersih Angkasa. Cakar Api pun mengerahkan kembali pasukan Ular untuk menghadapi pemberontakan Tikal.
Kita tak tahu pasti apa yang terjadi pada suatu hari di bulan Agustus itu. Para Ular ditakdirkan menempuh jalan berbeda. Beberapa tahun kemudian, dengan kekuasaan tercabik-cabik, Cakar Api pun meninggal dunia dan turut membawa pergi impian kekaisaran Ular. Sebagian besar arkeolog berpendapat bahwa para Ular tidak pernah jadi seperti semula lagi, tetapi terus memiliki pengaruh. Pada tahun 711, Naranjo, sekutu terkuat Ular, mengumumkan bahwa kota itu masih setia kepada Ular, dan 10 tahun kemudian seorang putri Ular muncul di Saknikte.
Pada pertengahan abad, para Ular telah kehilangan taringnya. Sebuah kota tetangga Calakmul mendirikan sebuah stela yang merayakan kembalinya para raja Kelelawar dengan gambar kesatria menginjak seekor ular. Selama abad berikutnya, Tikal menghukum negara-negara kota yang telah membantu para Ular—Waka, Caracol, Naranjo, dan Holmul.
Namun demikian, Tikal tidak pernah mencapai kekuasaan sebesar yang diperoleh para Ular, dan pada pertengahan 800-an Maya Klasik pun mengalami keruntuhan. Baik itu karena terlalu banyak penduduk, ketidakstabilan, atau musim kering yang berkepanjangan, kota-kota Klasik itu menjadi kacau dan akhirnya pun ditinggalkan.
Apakah para Ular bisa saja mencegah keruntuhan itu? Apa yang akan terjadi jika saja Cakar Api mengalahkan Tikal pada 695?
“Saya rasa keruntuhan itu bisa saja dihindari,” ujar arkeolog David Freidel, yang memimpin ekskavasi di Waka. “Kegagalan untuk menyatukan wilayah pusat dunia Maya di bawah satu pemerintahan adalah faktor utama terjadinya kemerosotan menuju anarki, peperangan yang meluas, dan kerentanan terhadap kekeringan.”
Suatu hari kelak kita mungkin akan mendapatkan jawabannya. Empat puluh tahun yang lalu para raja Ular hanyalah sebuah desas-desus. Kini kita tahu bahwa mereka memimpin kerajaan Maya yang terbesar dan terkuat yang pernah ada.
“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”
Begitulah kerja arkeologi yang perlahan, yang membuat gemas. Dari kilasan dan potongan-potongan yang didapat, para ahli mencoba menyatukan kembali sebuah gambaran utuh tentang masa lalu.
Tak jarang para ahli pun tak sepakat. Ramón Carrasco, arkeolog yang mengamati situs Calakmul, mengatakan bahwa para Ular tak pernah tinggal di Dzibanché dan tak pernah pudar kejayaannya. Ia melihat bukti yang sama, tetapi memiliki kesimpulan berbeda.
Karenanya, para arkeolog terus mencari petunjuk lagi. Pada 1996, Carrasco mengekskavasi struktur bangunan terbesar di Calakmul, sebuah piramida anggun yang dibuat sebelum 300 SM. Di dekat puncaknya, ia menemukan sisa-sisa sebuah jasad. Dan di bawah itu, ada sebuah ruang.
“Kami mengangkat tutupnya, dan kami bisa melihat ke bawah,” ujar Carrasco. “Kami melihat sejumlah tulang dan sesajian dan banyak sekali debu. Rasanya seperti melihat debu waktu.”
Butuh sembilan bulan untuk menggali kubur itu dengan aman dan mengekskavasinya. Ketika akhirnya Carrasco masuk, ia tahu bahwa ia telah menemukan seorang raja besar. Jasad raja itu dibalut dengan syal yang bagus dan ditaburi dengan manik-manik. Sang raja tidak sendiri—seorang wanita muda dan seorang anak-anak telah dikurbankan dan diletakkan di sebuah ruang di dekat situ.
Tubuh sang raja, menurut Carrasco, “diselimuti lumpur dan debu. Kita bisa lihat beberapa manik-manik giok, tapi tidak terlihat ada topeng.” Jadi, ia mengambil sebuah kuas dan mulai membersihkannya dengan hati-hati. “Hal pertama yang saya lihat adalah sebuah mata—menatap saya dari masa lalu.”
Mata itu berada di sebuah topeng giok indah yang dibuat untuk menghormati sang raja di alam baka. Analisis yang dilakukan belakangan menunjukkan, bahwa ia adalah pria yang gempal. Bahkan orang ini mungkin gemuk, dengan ligamen yang mengeras di tulang punggungnya. Makamnya dihiasi dengan elegan.
Di dekat situ diletakkan hiasan kepala dari batu giok, yang di bagian tengahnya pernah terdapat tapak jaguar. Di sebelahnya ada piring keramik berkepala ular menyeringai dengan inskripsi “piring Cakar Api."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR