Cara terbaik untuk memahami seorang raja adalah lewat hamba-hambanya. Begitu pun, cara terbaik untuk memahami sebuah kekaisaran sering kali adalah dengan melihat dari kota bawahannya. Barangkali hamba bagi para Ular yang paling menarik adalah sebuah kota kecil yang tak terlalu mengagumkan bernama Saknikte.
Bisa dikatakan, para arkeolog menemukan situs itu dua kali. Pada awal 1970-an mereka telah menemukan serangkaian panel batu yang beredar di pasar gelap. Panel-panel yang dipahat amat indah dengan tulisan yang rumit ini adalah benda jarahan perampok dan dijual di luar negeri tanpa ada cara untuk bisa melacak asal-usulnya. Pada panel-panel itu di sana-sini terdapat glif ular menyeringai. Para arkeolog menamai tempat tak dikenal yang merupakan tempat para perampok menemukan benda-benda itu sebagai Situs Q.
Situs Q menjadi semacam Tabut Perjanjian bagi arkeolog seperti Marcello Canuto. Saknikte, nama Maya situs itu, kelihatannya memiliki status istimewa di kerajaan Ular. Para pangerannya pergi ke Calakmul untuk mengenyam pendidikan, dan tiga di antaranya menikahi putri-putri Ular. Tak seperti kota pejuang Waka di sebelah selatannya, Saknikte tidak banyak ikut di pertempuran. Raja-rajanya memiliki nama-nama damai yang secara harafiah diterjemahkan sebagai Anjing Cerah, Cacing Putih, dan Kalkun Merah. Panel-panelnya mengisahkan para bangsawan meminum arak dan bermain seruling.
Menurut panel berukir, Yuknoom Cheen mengunjungi tempat itu tepat sebelum ibu kota Ular secara resmi pindah ke Calakmul. Potret yang elegan memperlihatkan Yuknoom Cheen duduk, tampak santai, memandang ke samping sementara raja Saknikte menatap.
Nama Yuknoom Cheen muncul di segenap wilayah Maya. Ia menikahkan putrinya Tangan Teratai dengan seorang pangeran Waka; belakangan sang putri menjadi ratu kesatria yang berkuasa besar. Ia juga menempatkan raja-raja baru di Cancuén, di sebelah selatan, dan Moral-Reforma, hampir 160 kilometer di sebelah barat. Di Dos Pilas, ia menaklukkan saudara dari raja baru Tikal dan mengubahnya menjadi pengikut yang setia.
“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”
Yuknoom Cheen juga membuat sebuah rute perdagangan baru di sisi barat kerajaannya, sehingga menghubungkan berbagai sekutu. Para ilmuwan telah menemukan sebuah kejanggalan dari kota-kota bawahan ini. Kelihatannya sekutu dekat tertentu tidak memiliki glif emblem mereka sendiri, serta rajanya walaupun penuh dengan perhiasan mewah, tidak memakai gelar kerajaan begitu mereka jatuh ke tangan para Ular.
Sementara itu, raja-raja Ular di Calakmul mengenakan gelar yang lebih besar lagi: kaloomte. Raja diraja.
“Saya rasa mereka mengubah cara politik dimainkan. Saya rasa mereka menciptakan sesuatu yang cukup baru,” ujar Tomás Barrientos, seorang arkeolog Guatemala. “Secara pribadi saya melihatnya sebagai terobosan dalam sejarah Maya.”
Para Ular tak melepaskan perhatiannya dari musuh lamanya, Tikal, yang berkali-kali mencoba untuk bangkit kembali dan membalas dendam. Pada 657, setelah memperkuat sekutunya, Yuknoom Cheen dan seorang raja boneka di dekat situ, seorang pria ambisius bernama Dewa yang Memalu Angkasa, menyerang Tikal. Dua dasawarsa kemudian, Tikal bangkit lagi, dan sang raja Ular sekali lagi mengatur agar kota itu kalah dan membunuh rajanya.
Bagaimana Tikal masih bisa mengancam para Ular yang kelihatannya memiliki banyak kekuatan? Para ahli berpendapat bahwa para raja Maya harus berhati-hati saat mempertahankan persekutuannya dan sering kali membiarkan raja yang kalah tetap hidup. Bisa saja pertempuran Maya Klasik sebagian besar bersifat seremonial. Atau mungkin, persekutuan para raja yang kalah, memohon ampun. Atau barangkali raja-raja Maya biasanya tidak memiliki cukup banyak tentara untuk menghabisi sebuah kota.
Apa pun alasannya, Yuknoom Cheen melakukan permainan politik yang rentan. Ia justru mengadakan pertemuan perdamaian dengan raja baru Tikal. Saat itulah ia memperkenalkan penerusnya (kemungkinan putranya), Cakar Api, yang kelak akan mewarisi kerajaannya. Dan akan benar-benar kehilangan kerajaan itu selama-lamanya.
Di usianya yang telah lanjut, sekitar 86 tahun, Yuknoom Cheen mengembuskan napas terakhir. Bagi sebagian besar penduduk Calakmul, mencapai setengah saja dari usia itu sudah beruntung. Namun, raja-rajanya adalah orang yang mendapat banyak kenyamanan, hanya memakan tamale yang lembut, sehingga bahkan gigi mereka tampak lebih muda dari sewajarnya. Kekurangan gizi menyebar di kalangan masyarakat bawah, tetapi kaum elite bisa kelebihan berat badan dan mungkin ada yang mengidap diabetes.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR