Tumushabe menjawab bahwa semua itu omong kosong. Keluarga suaminya mengatakan bahwa jelas sekali dia telah menyihir dan membodohi suaminya. Tumushabe memanggil polisi. Dia memanen tanaman dan menebang beberapa batang pohon untuk dijadikan kayu bakar. Ancaman semakin gencar; kata makian dilontarkan kepada anak-anaknya. Suatu hari seorang lelaki dari keluarga suaminya muncul di halaman rumahnya dan berteriak bahwa hari ini Tumushabe akan mati, dan karena saat itu tangan Tumushabe ditebas dengan panga—parang Afrika yang bilahnya besar—Diana Angwech melaporkan penyerangan itu dengan menuntut salah seorang dari penyiksanya ke pengadilan.
Kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, begitu kata Angwech dan rekan-rekannya yang terus mengingatkan kami, saat saya dan Toensing mengikuti mereka menjelajahi sejumlah desa di Uganda bagian tengah: Kita harus bersimpati, memberi nasihat, berusaha memberi pencerahan kepada polisi dan sesepuh desa. Menghadiri acara pertemuan masyarakat untuk menjelaskan bahwa mengintimidasi seorang janda baru agar menyerahkan rumah keluarganya itu dilarang, sekalipun yang mengintimidasi itu keluarga iparnya sendiri. “Orang-orang terkejut—’Ya ampun, ini sebenarnya salah?’” kata seorang pengacara bernama Nina Asiimwe, mengingat-ingat kembali ceramah terbuka pertama yang disampaikannya setelah bergabung dengan para profesional Uganda lainnya di kantor International Justice Mission (IJM) di Kampala, organisasi yang mempekerjakan Angwech. “Mereka pikir hal itu normal. Memang tidak adil, tetapi normal. Disetujui oleh masyarakat.”
Bayangkan warga Uganda ini sebagai pasukan pembela janda: pengacara, pekerja sosial, dan penyidik pidana yang menggunakan sistem peradilan negara mereka sendiri untuk membatalkan asumsi lama tentang wanita yang kehilangan suami. IJM adalah organisasi nirlaba berpusat di AS yang mendukung advokasi hukum di negara lain untuk korban miskin yang mengalami penganiayaan kekerasan, dan agenda karyawannya di Kampala cukup moderat. Mereka menyelenggarakan program percontohan di distrik luas yang kebanyakan merupakan pedesaan di timur ibu kota. Program itu menyediakan pengacara gratis dan pekerja sosial untuk membantu korban kejahatan yang dikenal di seluruh Afrika timur dan selatan sebagai “perampasan properti”—memeras warga, dengan ancaman lisan atau serangan fisik, agar menyerahkan kepemilikan tanah.
Dengan alasan yang sudah kuno maupun modern, para janda adalah pihak yang paling sering menjadi korban perampasan properti di kawasan dunia ini. Lebih dari dua pertiga warga Uganda yang berjumlah 39 juta orang menanam sendiri setidaknya beberapa jenis pangan. Mereka memiliki rumah sendiri, dan lahan yang menjadi bagian rumah itu masih tetap menjadi jaminan kuat atas ketahanan pangan yang penting: Makanan untuk anak-anak, kayu bakar untuk memasak, tanaman untuk dijual ke pasar. Karena kuburan sering berada di dekat rumah, orang yang mengurus properti keluarga juga memiliki sejarah, kehormatan, dan status leluhurnya. Dan pesatnya pertumbuhan penduduk Uganda, bersama dengan bermunculannya perbankan hipotek, meningkatkan nilai tanah.
“Jika Anda janda, nasib Anda buruk. Anda terkutuk. Andalah yang bersalah jika suami Anda mati. Bisa jadi suamilah yang memiliki beberapa rumah, beberapa istri, bahwa dialah yang menularkan HIV. Namun, saat dia meninggal, Andalah yang bersalah. Anda yang membunuhnya.”
Ini adalah hal-hal yang tidak mudah diakui oleh masyarakat tradisional Uganda kepada para janda. Konstitusi, yang ditulis ulang pada 1995 dan menjadi sumber kebanggaan nasional, menjanjikan kesetaraan gender. Statuta modern secara eksplisit menurunkan hak waris kepada istri dan anak perempuan. Namun, dalam praktiknya, terutama di daerah pedesaan yang merupakan sebagian besar Uganda, secara luas masih dianggap bahwa hanya kaum lelaki yang harus memiliki atau mewarisi tanah. Bahwa menjadi janda berarti berakhirnya legitimasi sosial wanita, dan terserah pada keluarga dan klan suaminya untuk memutuskan apa yang terjadi selanjutnya. Siapa yang akan mendapatkan properti, yang akan mengambil anak-anak, yang akan berhubungan seks dengannya. “Ditambah stigma,” kata Asiimwe. “Jika Anda janda, nasib Anda buruk. Anda terkutuk. Andalah yang bersalah jika suami Anda mati. Bisa jadi suamilah yang memiliki beberapa rumah, beberapa istri, bahwa dialah yang menularkan HIV. Namun, saat dia meninggal, Andalah yang bersalah. Anda yang membunuhnya.”
Jadi, dengan para janda sebagai klien, para pendukung IJM di desa-desa dan ruang pengadilan di Distrik Mukono Uganda memiliki tujuan luhur yang berani: menyiarkan ke seluruh Mukono, dan mungkin ke seluruh Uganda dan sekitarnya, gagasan bahwa merebut rumah dan kebun para wanita ini—serta serangan, ancaman, pemalsuan, dan pelecehan lisan yang sering membebani ini—bukan saja salah, tetapi bisa dihukum oleh pengadilan. Diplomasi amat penting; dalam beberapa kali rapat desa, Asiimwe menyapa sesepuh sebagai “ayah saya”, “ibu saya.”
Namun, upaya mereka sering tidak memadai, ia menegaskan, dan ketua dewan dapat dibeli atau diancam. Dalam bahasa Luganda, yakni bahasa pribumi utama di daerah itu, ia meminta pendengarnya mengingat kemungkinan masa depan seorang janda yang diusir dari rumahnya oleh para perampas harta yang mengacung-acungkan panga: Keluarganya mungkin tak bersedia menerimanya kembali, karena mereka tak mampu atau tak lagi menganggap janda itu sebagai keluarga. Janda itu dapat dibiarkan telantar, mungkin dipaksa melacur.
Penerimaan masyarakat ternyata sangat lambat. Mantan perwira polisi nasional yang kini memimpin penyelidikan IJM Distrik Mukono mengatakan bahwa teman-teman di kepolisian awalnya bingung saat ia mulai rajin mendatangi kantor polisi di desa, mengajar polisi untuk mengumpulkan bukti perampasan properti dan menangani secara serius ancaman kekerasan terhadap janda yang mencoba melawan.
Ancaman itu begitu gamblang dan meluas, bahkan kadang diarahkan ke para penyidik kasus; itu pula sebabnya mengapa IJM meminta agar nama para penyidik tidak dipublikasikan. Dan kasusnya sendiri dapat sangat kompleks. Uganda mendukung beberapa cara untuk memiliki tanah, baik tanah di masa sebelum penjajahan maupun di zaman modern, sehingga dapat sulit membuktikan siapa yang memegang hak kepemilikan bahkan sebelum suami meninggal.
Orang Uganda jarang menulis surat wasiat karena dapat menimbulkan sengketa yang bisa berujung pada kematian. Hubungan kohabitasi (hubungan seksual tanpa menikah) sudah lazim, meskipun bukan pernikahan legal; banyak wani-ta yang menganggap diri mereka sebagai istri ternyata bukan, dalam hal urusan warisan. “Tetapi, saya percaya ada harapan,” kata pengacara dan direktur penanganan kasus Alice Muhairwe Mparana kepada saya dan Toensing pada bulan Juni yang lalu. “Kami belum berhasil 100 persen, tetapi kami telah memulainya. Tahun ini kami sudah memenangi sembilan perkara.”
Beberapa tuntutan yang berhasil selama paruh pertama 2016: pengusiran yang melanggar hukum, memasuki halaman orang lain tanpa izin yang termasuk tindakan pidana, mencampuri urusan orang lain, yang berarti tanpa izin ikut campur dalam urusan orang lain. Tanggal 23 Juni menandai Hari Janda Internasional yang keenam, dan di kota terbesar di Mukono, alun-alun berumput yang menghadap ke gedung pengadilan diizinkan untuk digunakan merayakan peringatan khusus, dilengkapi mikrofon, ratusan kursi lipat, dan area tempat duduk bertenda yang dibatasi tali; dengan rambu bertuliskan “Janda Terhormat”. Orang-orang penting naik ke panggung untuk berbicara: kepala polisi, misalnya; dan hakim kepala; dan Clare Glorious Tumushabe, yang menggunakan waktu paling banyak di depan mikrofon.
“Saya berkata pada klan suami saya, ‘Bagaimana mungkin kalian memberikan saya kepada pria lain? Saya tidak menikah dengan seluruh klan.’”
Dengan bantuan juru bahasa, Tumushabe berkata, dia tetap menghuni rumah keluarganya. “Saya hanya mencintai satu orang pria,” dia berseru dalam bahasa Luganda, suaranya melengking seperti suara pendeta, dan para Janda Terhormat mengelu-elukannya. “Saya berkata pada klan suami saya, ‘Bagaimana mungkin kalian memberikan saya kepada pria lain? Saya tidak menikah dengan seluruh klan.’”
Tiga bulan kemudian, saya dan Toensing menerima kabar: Penyerang Tumushabe dinyatakan bersalah atas dakwaan “serangan yang menyebabkan cedera tubuh” dan menjalani hukuman penjara satu tahun. Tumushabe dan para penasihat hukumnya gembira. Namun, saudara-saudara suaminya murka, dan kepala penyidik mencemaskan sang janda dan anak-anaknya. “Kami memperketat penjagaan keselamatannya,” katanya. “Dan kami menjelaskan kepada masyarakat agar mereka memahami posisi Tumushabe. Dia hidup terkurung di tempat tinggalnya. Namun, dia wanita tangguh dan kuat.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR