Tiba di tengah hari bolong. Kami melompat turun dari bis patas AC sambil membawa ransel jumbo dan kotak kamera berbahan metal. Lunas sudah alunan musik dangdut koplo selama hampir tiga jam dalam perjalanan Semarang-Lasem.
Kami menyeberang Jalan Raya Pos yang dijejali truk gandeng, tergopoh-gopopoh dengan membawa aneka jinjingan tadi. Hawa panas, asap knalpot, dan debu jalan itu membuat saya pening dan terhuyung-huyung. Mungkin, dampak dangdut koplo baru terasa di kepala saya. Apakah dangdut koplo benar-benar membuat orang koplo—dungu?
Namun, seketika bahagia melanda. Di samping Masjid Kauman,
Saya melihat sebuah moda transportasi ramah lingkungan—andong—yang merindu penumpang.
“Pak, tolong ke Karangturi Gang 5 dong! Pinten, Pak?” tanya saya sambil meletakkan aneka jinjingan di kabin andong, sebelum kusir itu menyetujui transaksi.
“Ayo Mbak, lima belas ribu yo?” balas pengemudi andong sambil terkekeh.
Kami tidak menawar lagi, segera melompat naik andong dan bergegas menuju tempat kami bermalam.
Sebenarnya ada sekitar dua lusinan penginapan di Lasem. Namun kebanyakan pelancong—apalagi dalam jumlah besar—memilih menginap di Rembang yang menyediakan berbagai pilihan hotel dan restoran. Kami memilih bermalam di Pecinan Lasem, dan berharap bisa merasakan denyut kehidupan warganya.
Sebuah rumah lawas milik Soesantio, warga asal Lasem dan kolektor perangko, menjadi rumah bermalam kami untuk beberapa hari ke depan. Cukup nyaman untuk pelancong beransel. Satu hal yang pasti, tempat itu berada di pusat dunia! Langsung menyentuh jantung kehidupan dan kuliner Lasem.
Rumah lawas itu dirawat oleh penggiat kota pusaka Rembang dan Lasem, Baskoro namanya. Perawakannya sedang, berkumis, berambut ikal klimis, dan kulitnya gelap. Usianya, jelang 40 tahun. Dia lebih suka dipanggil Pop—konon kependekan dari Populer, bukan ayam pop atau loli pop. Senyum lebar Pop dengan sekejap mendinginkan hawa panas dan cahaya matahari.
“Ayo, ini motor sudah siap dua. Kita ke Tuyuhan? Pasti sudah lapar kan?” tanya Pop yang sudah siap dengan motornya.
Kami menuju tempat kuliner Lasem: lontong ayam Tuyuhan racikan Mas Aan. Tiba di gerai lontong, kami memesan masing-masing satu porsi. Saya cecapi, rasanya sedikit pedas, agak berubah rasa sejak kunjungan saya yang pertama pada Agustus silam.
“Mas, kok pedes ini ya?” tanya saya.
“Ini lagi tren!” kata Aan sambil sibuk meracik pesanan pelanggan.
“Wah, yang nggak bisa pedes bisa modar ini, Mas. Gimana kalau Mas Aan bikin dua kuah, orisinal dan pedas?”
Ia hanya menyeringai mendengar pinta saya.
Usai menyantap seporsi lontong yang disiram opor ayam kampung, kami menghabiskan sore mengelilingi Tuyuhan dan menyambangi nisan-nisan Cina yang tersebar di sudut Lasem.
Malamnya, kami menghadiri sembahyang Ce It Cap Go di Klenteng Cu An Kiong. Sembahyang setiap tanggal 15 penanggalan Imlek menjadi tradisi pecinan yang tak sirna oleh perjalanan waktu. Tradisi sembahyang lainnya masih dijalankan, sembahyang tahun baru, sembahyang Tuhan Allah, perayaan Cengbeng, sembahyang Cioko, sembahyang ulang tahun Makco dan Kongco—dewi dan dewa klenteng.
Peta menunjukkan lokasi bangunan tua, rumah batik, kuliner, dan makam Cina. Survei: Agni Malagina, FIB-UI; Baskoro "Pop" Rembang Heritage Society
Lasem, sebuah kota kecamatan di pesisir pantai utara, bagian dari Kabupaten Rembang, Jawa. Hanya berjarak 12 km dari Kota Rembang, Lasem kondang sebagai destinasi wisata. Pecinan ini telah menarik banyak peneliti dan akademisi untuk berkelindan dengan kekunoannya. Namanya telah kondang ditulis dalam sastra zaman Majapahit dan kronik Cina kuno pada abad ke-14.
Saking terkenalnya, julukan Lasem pun beraneka ragam: Kota Santri, Kota Batik, Kota Pusaka, Kota Barang Antik, Beijing Kecil, dan Tiongkok Kecil. Julukan itu mencerminkan keanekaragaman budaya di Lasem. Bagi sejarawan yang menggandrungi penelitian jalur candu di Jawa, Lasem mendapat tengara sebagai “Corong Candu”. Di sinilah tempat pendaratan dan penyelundupan candu terbesar di Pulau Jawa pada abad ke-18, bersama Kota Juwana.
!break!Kami bangun pagi dan bergegas menyambangi sebuah kedai kopi yang melejit milik Karjin, atau yang kerap disapa Loo Jenghai. Tempat berkumpulnya penggemar menu sarapan khas Lasem. Mereka berasal dari berbagai kalangan, usia dan profesi. Sebutlah pengusaha besar, pegawai negeri, pensiunan, pembatik, buruh, tukang becak, pengemudi, dan lainnya—termasuk kami.
Saya bertemu dengan beberapa pesohor dan sesepuh di Lasem. Mereka sedang menikmati menu sarapannya dan semringah menyambut kedatangan kami. Saya memesan kopi cukupan—sebutan untuk kopi manis sedang—kepada Jenghai.
“Nasi semua habis. Ketan habis, tinggal nasi Bali,” ujar Jenghai. “Lha kok ya nggak nelpon?”
Saya sungguh menyesal. Padahal nasi semur bungkus daun jati dan ketan bumbu sungguh saya gemari. Kedai Jenghai menjadi tempat warga bertukar informasi, bicara transaksi, atau sekedar duduk santai menanti sirnanya pagi. Di kedai bersahaja ini saya merasakan keguyuban warga.
Kedai kecil itu menyediakan menu sarapan khas Lasem. Juga, kopi lelet sajian kopi dengan jati diri Lasem. Jenghai memproduksi sendiri kopi leletnya. Ia memilih biji kopi lokal terbaik. Selama lima hari, Jinghe mampu menghasilkan lima kilogram kopi.
Kopi khas Lasem ini biasa digunakan untuk membatik di atas sebatang rokok. Kopi lelet, demikian julukannya. Seorang warga yang bekerja sebagai kenek mobil angkut berkata kepada saya bahwa kopi lelet merupakan tradisi Lasem dan Rembang. Rokok kreteknya tampak cantik dibalut corak batik dari adonan kopi dan susu kental. Selain cantik, konon rokok yang telah dibubuhi batik menjadi lebih tahan lama.“Ini campurannya ampas kopi sama susu kental manis, biar kental jadi bisa dipakai mbatik di kertas rokok ini,” ujarnya sembari menorehkan adonan tadi dengan sebatang tusuk gigi.
Rumah Cina-Hindia milik Lo Geng Gwan terletak di Pecinan Karangturi Gang 4. Berandanya luas, dengan meja dan kursi tua yang terhampar di lantai terakota. Opa Gwan hidup bersama sepupunya Lim Luan Niang. Usia keduanya 86 tahun. Mereka ditemani seorangabdi yang telah 30-an tahun bekerja di rumah itu. Minuk namanya, rambutnya sudah memutih. Kami memanggilnya ‘Kyle’ Minuk.
“Opa, piye kabare?” saya menyapa Opa Gwan yang sore itu sedang duduk di depan pintu gerbang bertembok tinggi rumahnya.
“Weeh, mlebu yo mlebu!” Ia bangkit tertatih dan mengajak kami masuk melintas halaman rumahnya. “Kae Oma neng njero,” ujarnya sembari menunjuk sepupunya, Lim.
Saya masuk ke rumah Opa Gwan yang berkonstruksi batu bata, berdinding kayu, berlantai papan dan bergaya Cina-Eropa. Rumah tua, foto tua, furnitur tua, ranjang ukir tua, perabot tua, serasa waktu berhenti!
Saya menjabat tangan Oma Lim yang duduk di kursi kayu, wajah rentanya tampak semringah. Sore itu Oma Lim baru selesai mandi, dan Minukmenyisir dan membedakinya.
“Kamu mau kecap to? Aku bikin kecap kemarin jadi,” ujar Minuk. “Lima botol tok, yok ambil di belakang, sekalian aku sembayang pawon (dapur).”Saya terperanjat dan bertanya, mengapa Minuk turut sembahyang, bukankah dia orang Jawa dan Muslim?
“Sudah kebiasaan dari dahulu,semuanyaaku yang sembayang,” jawab Minuk.“Apalagi Oma dan Opa kansudah pikun.” Kemudian dia menuju ruang penyimpanan beras, tempat altar dapur.
Minuk menghadap rak siku kecil berdebu. Di atas rak itu duduk patung kecil Dewa Dapur dan tempat dupa. Juga sebuntelan kertas berwarna kecoklatan yang telah dipuja turun-tenurun. Dia menyalakan dupa, bersoja, dan menancapkan dupa di hiolo mungil.
“Ini tiap sore jam tiga atau jam empatan,”katanya.Kemudian dia mengajak saya duduk-duduk di dapur sembari menemaninya memasak sepanci sop di tungkutembikar berbahan bakar kayu. Minuk tak pernah meninggalkan tugasnya menjaga mereka.
!break!Bagaikan mengunjungi museum, saat berkunjung ke Lasem kami disuguhi pemandangan puluhan rumah kuno berlanggam arsitektur daerah Fujian selatan, seperti rumah kuno Lawang Ombo milik Soebagio. Rumah-rumah bergaya Hindia dengan pilar-pilarnya yang megah, seperti bangunan Polisi Sektor Lasem yang dibangun pada abad ke-19. Juga, rumah tegel Lie Thiam Kwie dan rumah budaya Gus Zaim.
Salah satu bangunan termegah di Lasem adalah rumah bergaya Hindia dengan deretan pilar nan anggun. Rumah itu dilestarikan oleh pengusaha toko elektronik dan aneka perabot di pecinan itu. Namanya, Rudy Hartono, 45 tahun. Dia menamai rumah cantiknya dengan sebutan rumah Tiongkok Kecil Heritage.
Saya dan Feri dengan mudah dapat menemukan bangunan itu. Letaknya di Karangturi, bertembok tinggi dengan cat warna merah menyala, dan sebuah logo bertuliskan Tiongkok Kecil Heritage terpampang dalam ukuran besar. Rumah itu memiliki dua pintu: pintu utama bergaya Cina terbuat dari kayu, sedangkan pintu lainnya adalah pintu besi bercat merah. Klasik dan tampak megah. Saya menyebutnya ‘rumah merah’.
Sore menjelang malam, kami bertandang ke kediaman Rudy Hartono. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tuanya, rumah bergaya Cina-Hindia yang tetap kuno dalam kekinian Lasem. Tepat di belakang dapur, saya melihat sebidang tanah dipenuhi oleh tanaman bawang kucai tinggalan orang tuanya yang dirawat oleh Rudy sendiri.
Dari bagian belakang kediamannya, Rudy mengajak kami menuju rumah merah. Kami masuk ke halaman rumah merah. Saya termangu memandang bangunan itu dengan decak kagum.
Lampu mulai dinyalakan, saya menyaksikan betapa indahnya rumah merah milik Rudy. Pada akhir Desember 2012, Rudy mulai memugarnya—hingga sekarang.
Pemugaran itu, demikian ungkapnya, mendapat banyak masukan dari ahli dan juga pemilik Museum Benteng Heritage di Tangerang, Udaya Halim. “Saya dimarahi beliau karena salah pada proses awal renovasi rumah ini,” ujar Rudy. “Sekarang sudah jadi, tinggal bagaimana mengelolanya masih dipikirkan.”
Rudy mengakui bahwa penggunaan slogan Tiongkok Kecil Heritage sempat mendapatkan tentangan dari para penggiat dan sesepuh klenteng Pecinan Lasem.
“Kenapa Tiongkok-Tiongkok-Tiongkok dimunculkan?” kenangnya meniru ucapan beberapa kawan yang menentang penggunaan slogan itu. “Ya, saya beri pengertian, lha wong sekarang sudah bisa digunakan, kenapa tidak boleh?”
Pada akhirnya, Rudy memutuskan tetap menggunakan slogan itu dan tetap menghargai warga Lasem yang kontra. “Saya ingin berusaha melestarikan bangunan kuno warisan leluhur saja.”
Rudy menyatakan bahwa rumah Tiongkok Kecil Heritage dapat dikunjungi oleh siapa saja. Dia pun mengizinkan rumah kunonya digunakan sebagai tempat Festival Lasem dan Laseman yang digelar tahun lalu. “Semua ini untuk Lasem,” ujarnya.
“Saya berusaha menyelamatkan apa yang bisa saya selamatkan,”ujarnya sambil memandang rumah itu dengan tatapan tajam. “Semoga teman-teman lainnya pun demikian.”
Setiap malam menjelang, kami meluangkan waktu untuk bersantap di kedai-kedai yang menyajikan santapan lezat-murah-meriah—dan meledak! Sulit mencari restoran di sini, namun daya tarik kedai makan kecil tak kalah hebatnya. Kedai-kedai itu tersebar di tepian Jalan Raya Pos dan Jalan Jatirogo,terutama seputar pecinan.
Sungguh aneh. Mengapa di jantung Pecinan Lasem kami justru tidak menemukan kedai masakan Cina. Beruntung saya bertemu dengan seorang pelaku sejarah di sana, Gandor Sugiharto, 70 tahun. Dia sesepuh dan penggiat di tiga klenteng Lasem. Nama sejatinya Sie Lwie Djan, namun saya memanggilnya Opa Gandor.
Menggali ingatan masa lalu dari seorang opa merupakan kebahagiaan tersendiri. Opa Gandor bercerita mengenai Pecinan Lasem sekitar 1960-an, ketika kawasan itu masih terjaga dalam geliatnya. Aneka kuliner masih terekam dalam ingatannya. Dia menyebutkan beragam nama santapan: nasi uduk babu suhak, lombok ijo shio srepeh, masakan babi, hingga swike siok jiang yang dipikul melintas pecinan Lasem. “Zaman dulu, jajanan itu banyak sekali. Yang dagang ya banyak orang Tionghoanya, dipikul keliling.”
Dia mengisahkan kepada saya, meskipun banyak ragam santapan di Lasem, dia tidak bisa menikmatinya lantaran makanan sungguh mahal kala itu. Harga makanan masih mahal, namun tetap laris karena banyak taipan kaya di Lasem. Sayangnyaselepas 1965, kata Opa Gandor, semua penganan jajanan khas Lasem seolah raib.
Kemudian, Opa Gandor mengajak saya mencicipi sop baso lempit di sebuah kedai makan pinggiran yang terletak di seberang kantor Polisi Sektor Lasem. Saya mencecapi santapan menggiurkan yang berisi ayam ini. “Baso lempit makanan klasik pecinan Lasem lho!” ujarnya. “Masakan halal semua di sini.”
Beberapa jenis kudapan masih langgeng, seperti yopia—sejenis pia kering isi gula aren—milik Soen Hong bersaudara. Atau, kerupuk udang milik Hendra Irawan, jugaKecap Cap Jempol milik keluarga Hondokusumo.
!break!Saya membayangkan Lasem tempo dulu, dengan cerita-cerita perdagangan candu, rumah candu, hingga denyut kehidupan pecinan. Lelaki bepergian dengan sepeda, bercelana pantalon, dan bersepatu pantofel hitam. Sementara, para perempuan mengenakan gaun putih berenda dan kebaya berkain batik Lasem dan bercakap dengan bahasa Belanda.
Angan saya sekejap padam ketika kami beranjak meninggalkan Lasem.Pun mulai terasa terbit rindu pada bekas kota candu ini. Rumah-rumah megah abad ke-19 masih ada yang memilikinya, namun mereka tidak menempatinya. Sebagian tak berpenghuni atau diserahkan kepada abdi penjaga rumah.
Ketika bertamu ke rumah-rumah tua warga Lasem, saya masih menjumpai aneka ragam barang antik abad ke-19: mulai dari furnitur kayu, perabot rumah tangga, perhiasan, dan gambar-gambar yang menyimpan kenangan masa lalu. Lasem merupakan surga bagi para pemuja barang kuno! Benda-benda itu adalah bagian dari budaya dan kenangan warga Pecinan Lasem. Kiranya, akan lebih baik apabila perabotan antik itu tetap berada di tempatnya—tak perlu bernafsu untuk mengoleksinya—sebagai tengara peradaban leluhur Lasem bagi anak cucu mereka.
Pelancong yang kerap mengunjungi pecinan ini seolah hanya menyaksikannya sebagai benda—pemandangan yang hanya diabadikan, lalu dibagikan untuk media sosial belaka. Padahal, bagi saya, kehidupan Lasem memiliki ceritanya sendiri. Lasem tempo dulu merupakan kota ramai dan mewah, namun kini hampir tak ada yang mengenangnya. Pusaka pecinan ini masih menjadi teka-teki bagi saya, dan kelak melecutkan niat saya untuk melanconginya sekali lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR