“Ini lagi tren!” kata Aan sambil sibuk meracik pesanan pelanggan.
“Wah, yang nggak bisa pedes bisa modar ini, Mas. Gimana kalau Mas Aan bikin dua kuah, orisinal dan pedas?”
Ia hanya menyeringai mendengar pinta saya.
Usai menyantap seporsi lontong yang disiram opor ayam kampung, kami menghabiskan sore mengelilingi Tuyuhan dan menyambangi nisan-nisan Cina yang tersebar di sudut Lasem.
Malamnya, kami menghadiri sembahyang Ce It Cap Go di Klenteng Cu An Kiong. Sembahyang setiap tanggal 15 penanggalan Imlek menjadi tradisi pecinan yang tak sirna oleh perjalanan waktu. Tradisi sembahyang lainnya masih dijalankan, sembahyang tahun baru, sembahyang Tuhan Allah, perayaan Cengbeng, sembahyang Cioko, sembahyang ulang tahun Makco dan Kongco—dewi dan dewa klenteng.
Peta menunjukkan lokasi bangunan tua, rumah batik, kuliner, dan makam Cina. Survei: Agni Malagina, FIB-UI; Baskoro "Pop" Rembang Heritage Society
Lasem, sebuah kota kecamatan di pesisir pantai utara, bagian dari Kabupaten Rembang, Jawa. Hanya berjarak 12 km dari Kota Rembang, Lasem kondang sebagai destinasi wisata. Pecinan ini telah menarik banyak peneliti dan akademisi untuk berkelindan dengan kekunoannya. Namanya telah kondang ditulis dalam sastra zaman Majapahit dan kronik Cina kuno pada abad ke-14.
Saking terkenalnya, julukan Lasem pun beraneka ragam: Kota Santri, Kota Batik, Kota Pusaka, Kota Barang Antik, Beijing Kecil, dan Tiongkok Kecil. Julukan itu mencerminkan keanekaragaman budaya di Lasem. Bagi sejarawan yang menggandrungi penelitian jalur candu di Jawa, Lasem mendapat tengara sebagai “Corong Candu”. Di sinilah tempat pendaratan dan penyelundupan candu terbesar di Pulau Jawa pada abad ke-18, bersama Kota Juwana.
!break!Kami bangun pagi dan bergegas menyambangi sebuah kedai kopi yang melejit milik Karjin, atau yang kerap disapa Loo Jenghai. Tempat berkumpulnya penggemar menu sarapan khas Lasem. Mereka berasal dari berbagai kalangan, usia dan profesi. Sebutlah pengusaha besar, pegawai negeri, pensiunan, pembatik, buruh, tukang becak, pengemudi, dan lainnya—termasuk kami.
Saya bertemu dengan beberapa pesohor dan sesepuh di Lasem. Mereka sedang menikmati menu sarapannya dan semringah menyambut kedatangan kami. Saya memesan kopi cukupan—sebutan untuk kopi manis sedang—kepada Jenghai.
“Nasi semua habis. Ketan habis, tinggal nasi Bali,” ujar Jenghai. “Lha kok ya nggak nelpon?”
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR