Bagaikan mengunjungi museum, saat berkunjung ke Lasem kami disuguhi pemandangan puluhan rumah kuno berlanggam arsitektur daerah Fujian selatan, seperti rumah kuno Lawang Ombo milik Soebagio. Rumah-rumah bergaya Hindia dengan pilar-pilarnya yang megah, seperti bangunan Polisi Sektor Lasem yang dibangun pada abad ke-19. Juga, rumah tegel Lie Thiam Kwie dan rumah budaya Gus Zaim.
Salah satu bangunan termegah di Lasem adalah rumah bergaya Hindia dengan deretan pilar nan anggun. Rumah itu dilestarikan oleh pengusaha toko elektronik dan aneka perabot di pecinan itu. Namanya, Rudy Hartono, 45 tahun. Dia menamai rumah cantiknya dengan sebutan rumah Tiongkok Kecil Heritage.
Saya dan Feri dengan mudah dapat menemukan bangunan itu. Letaknya di Karangturi, bertembok tinggi dengan cat warna merah menyala, dan sebuah logo bertuliskan Tiongkok Kecil Heritage terpampang dalam ukuran besar. Rumah itu memiliki dua pintu: pintu utama bergaya Cina terbuat dari kayu, sedangkan pintu lainnya adalah pintu besi bercat merah. Klasik dan tampak megah. Saya menyebutnya ‘rumah merah’.
Sore menjelang malam, kami bertandang ke kediaman Rudy Hartono. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tuanya, rumah bergaya Cina-Hindia yang tetap kuno dalam kekinian Lasem. Tepat di belakang dapur, saya melihat sebidang tanah dipenuhi oleh tanaman bawang kucai tinggalan orang tuanya yang dirawat oleh Rudy sendiri.
Dari bagian belakang kediamannya, Rudy mengajak kami menuju rumah merah. Kami masuk ke halaman rumah merah. Saya termangu memandang bangunan itu dengan decak kagum.
Lampu mulai dinyalakan, saya menyaksikan betapa indahnya rumah merah milik Rudy. Pada akhir Desember 2012, Rudy mulai memugarnya—hingga sekarang.
Pemugaran itu, demikian ungkapnya, mendapat banyak masukan dari ahli dan juga pemilik Museum Benteng Heritage di Tangerang, Udaya Halim. “Saya dimarahi beliau karena salah pada proses awal renovasi rumah ini,” ujar Rudy. “Sekarang sudah jadi, tinggal bagaimana mengelolanya masih dipikirkan.”
Rudy mengakui bahwa penggunaan slogan Tiongkok Kecil Heritage sempat mendapatkan tentangan dari para penggiat dan sesepuh klenteng Pecinan Lasem.
“Kenapa Tiongkok-Tiongkok-Tiongkok dimunculkan?” kenangnya meniru ucapan beberapa kawan yang menentang penggunaan slogan itu. “Ya, saya beri pengertian, lha wong sekarang sudah bisa digunakan, kenapa tidak boleh?”
Pada akhirnya, Rudy memutuskan tetap menggunakan slogan itu dan tetap menghargai warga Lasem yang kontra. “Saya ingin berusaha melestarikan bangunan kuno warisan leluhur saja.”
Rudy menyatakan bahwa rumah Tiongkok Kecil Heritage dapat dikunjungi oleh siapa saja. Dia pun mengizinkan rumah kunonya digunakan sebagai tempat Festival Lasem dan Laseman yang digelar tahun lalu. “Semua ini untuk Lasem,” ujarnya.
“Saya berusaha menyelamatkan apa yang bisa saya selamatkan,”ujarnya sambil memandang rumah itu dengan tatapan tajam. “Semoga teman-teman lainnya pun demikian.”
Setiap malam menjelang, kami meluangkan waktu untuk bersantap di kedai-kedai yang menyajikan santapan lezat-murah-meriah—dan meledak! Sulit mencari restoran di sini, namun daya tarik kedai makan kecil tak kalah hebatnya. Kedai-kedai itu tersebar di tepian Jalan Raya Pos dan Jalan Jatirogo,terutama seputar pecinan.
Sungguh aneh. Mengapa di jantung Pecinan Lasem kami justru tidak menemukan kedai masakan Cina. Beruntung saya bertemu dengan seorang pelaku sejarah di sana, Gandor Sugiharto, 70 tahun. Dia sesepuh dan penggiat di tiga klenteng Lasem. Nama sejatinya Sie Lwie Djan, namun saya memanggilnya Opa Gandor.
Menggali ingatan masa lalu dari seorang opa merupakan kebahagiaan tersendiri. Opa Gandor bercerita mengenai Pecinan Lasem sekitar 1960-an, ketika kawasan itu masih terjaga dalam geliatnya. Aneka kuliner masih terekam dalam ingatannya. Dia menyebutkan beragam nama santapan: nasi uduk babu suhak, lombok ijo shio srepeh, masakan babi, hingga swike siok jiang yang dipikul melintas pecinan Lasem. “Zaman dulu, jajanan itu banyak sekali. Yang dagang ya banyak orang Tionghoanya, dipikul keliling.”
Dia mengisahkan kepada saya, meskipun banyak ragam santapan di Lasem, dia tidak bisa menikmatinya lantaran makanan sungguh mahal kala itu. Harga makanan masih mahal, namun tetap laris karena banyak taipan kaya di Lasem. Sayangnyaselepas 1965, kata Opa Gandor, semua penganan jajanan khas Lasem seolah raib.
Kemudian, Opa Gandor mengajak saya mencicipi sop baso lempit di sebuah kedai makan pinggiran yang terletak di seberang kantor Polisi Sektor Lasem. Saya mencecapi santapan menggiurkan yang berisi ayam ini. “Baso lempit makanan klasik pecinan Lasem lho!” ujarnya. “Masakan halal semua di sini.”
Beberapa jenis kudapan masih langgeng, seperti yopia—sejenis pia kering isi gula aren—milik Soen Hong bersaudara. Atau, kerupuk udang milik Hendra Irawan, jugaKecap Cap Jempol milik keluarga Hondokusumo.
!break!Saya membayangkan Lasem tempo dulu, dengan cerita-cerita perdagangan candu, rumah candu, hingga denyut kehidupan pecinan. Lelaki bepergian dengan sepeda, bercelana pantalon, dan bersepatu pantofel hitam. Sementara, para perempuan mengenakan gaun putih berenda dan kebaya berkain batik Lasem dan bercakap dengan bahasa Belanda.
Angan saya sekejap padam ketika kami beranjak meninggalkan Lasem.Pun mulai terasa terbit rindu pada bekas kota candu ini. Rumah-rumah megah abad ke-19 masih ada yang memilikinya, namun mereka tidak menempatinya. Sebagian tak berpenghuni atau diserahkan kepada abdi penjaga rumah.
Ketika bertamu ke rumah-rumah tua warga Lasem, saya masih menjumpai aneka ragam barang antik abad ke-19: mulai dari furnitur kayu, perabot rumah tangga, perhiasan, dan gambar-gambar yang menyimpan kenangan masa lalu. Lasem merupakan surga bagi para pemuja barang kuno! Benda-benda itu adalah bagian dari budaya dan kenangan warga Pecinan Lasem. Kiranya, akan lebih baik apabila perabotan antik itu tetap berada di tempatnya—tak perlu bernafsu untuk mengoleksinya—sebagai tengara peradaban leluhur Lasem bagi anak cucu mereka.
Pelancong yang kerap mengunjungi pecinan ini seolah hanya menyaksikannya sebagai benda—pemandangan yang hanya diabadikan, lalu dibagikan untuk media sosial belaka. Padahal, bagi saya, kehidupan Lasem memiliki ceritanya sendiri. Lasem tempo dulu merupakan kota ramai dan mewah, namun kini hampir tak ada yang mengenangnya. Pusaka pecinan ini masih menjadi teka-teki bagi saya, dan kelak melecutkan niat saya untuk melanconginya sekali lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR