Ikhtiar mengembalikan hutan yang terganggu dengan menjiplak ekosistem alami. Bersama masyarakat lokal, pemulihan untuk menghidupkan kembali alam liar pegunungan.
Di perbatasan Cagar Alam Gunung Tilu dan Hutan Lindung Perhutani, Ujang Sukmana menembus sesemakan rimbun. Ketua kelompok Model Desa Konservasi Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Bandung, itu membabati tumbuhan bawah di sekitar tanaman restorasi.
Bersama polisi hutan Wawan Wajihadin, Ujang membebaskan tanaman muda hasil restorasi ekosistem dari kepungan semak liar di Blok Gluduk. Wawan menuturkan, lahan yang direstorasi seluas 30 hektare dengan berbagai tanaman asli Gunung Tilu. “Satu lokasi lain, masih di Sugihmukti adalah di Blok Kendeng. Yang direstorasi di Sugihmukti totalnya17 hektare,” terangnya. Restorasi juga dilakukandi Blok Batu Belah, Desa Sukaluyu, Pangalengan. “Yang di Pangalengan luasnyasekitar 13hektare,” Wawan mengimbuhkan.
Restorasi ekosistem itu sebagai upaya memulihkan hutan Gunung Tilu yang pernah dibuka oleh perambah. Di sudut Blok Gluduk itu, Wawan dan Ujang menunjukkan hutan Gunung Tilu yang pernah dirambah: tajuk hutan terbuka, semak tumbuh rimbun. Sementara tumbuhan hasil penanaman restorasi sebagian baru setinggi satu meter, sebagian yang lain masih mungil-mungil.
Ujang sempat mengunduh tiga buah terong belanda yang tumbuh di areal itu. “Ini terong belanda yang ditanam perambah,” ujarnya. “Ini dulu dirambah, tapi kini sudah keluar semua.” Tanaman asing yang tumbuh ranum juga mengancam tanaman asli. Jika kelak beranak-pinak, terong belanda disangka sebagai tumbuhan asli Gunung Tilu.
Sebagai kawasan konservasi yang berdampingan dengan permukiman, Cagar Alam GunungTilu tak terlepas dari gangguan manusia yang dapatmengancam keaslian ekosistemnya. Lokasi perambahan terpisah-pisah di sejumlah blok, salah satunya ada di Blok Gluduk. “Di Desa Sukaluyu masih ada perambahan aktif sekitar 20 hektare,” jelas Dwi Hendra Kristianto,staf Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Berkat upaya restorasi, sebagian perambah telah keluar dari kawasan cagar alam.
Untuk memulihkan kawasan konservasi, program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) menggelar restorasi ekosistem.Amanat restorasi untuk membalik keadaan: dari lahan yang terganggu, kembali menjadi kawasan yang mendekati ekosistemasli. Istilah ekosistem asli terdengar agak problematik, lantaran tidak mudah menerawang kondisi awal dari areal yang telah tersentuh aktivitas manusia.
Lantaran itu restorasi memerlukan wawasan yang memadai ihwal ekosistem asli setempat. Inilah yang membedakan restorasi dengan program penanaman yang lazim, semisal rehabilitasi dan reboisasi.
Kendati hasil akhirnya tetap menanam, namunproses tahap demi tahap dalamrestorasi berbeda dengan rehabilitasi. Restorasi memerlukan pengetahuan ihwal spesies tumbuhan asli yang secara ekologis mampu menopang kehidupan liar. Pada akhirnya, tumbuhan yang ditanam sebisa mungkin mendekati ekosistem asli dan bermanfaat bagi satwa liar.
“Tujuan awalnya untuk memperbaiki habitat. Intinya, ya, tetap menanam. Baru setelah itu, mengembalikan keberadaan satwanya. Namun, bila hutannya sudah bagus, satwa akan kembali dengan sendirinya. Itu otomatis,” jelas Dwi.
Tugas besar itulah yang diemban Komponen 2 Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation. Kiprah Komponen 2 untuk mengembangkan model restorasi habitat dan rehabilitasi lahan untuk mengatasi degradasi lahan di kawasan konservasi. Upaya restorasi juga mesti menggandeng masyarakat untuk mengungkit ekonomi lokal.
Aktivitas pertama adalah pekerjaan di atas kertas: menentukan lokasi pilot proyek restorasi dan rehabilitasi lahan. Penentuan ini berdasarkan aspek legalformal, biofisik,dan sosial-ekonomi yang diterjemahkan dalam kriteria dan indikator.Kriteria meliputi beberapa hal, semisal kaitan lokasi dengan Daerah Aliran Sungai Citarum. Ada juga kriteria seberapa besar tekanan manusia terhadap kawasan konservasi, adanya perambahan, tingkat kerusakan vegetasi, aksesibilitas, keadaan sosial-ekonomi, dan adanya program lain di lokasi.
Dari delapan kriteria itu, lantas dikembangkan indikator yang lebih rinci. Rentang nilai indikator pada setiap kriteria antara 3 – 5, sehingga nilai terbesarnya adalah 50, dan terendah 26. Kemudian,Komponen 2 melakukan penilaian untuk menetapkan prioritas lokasi restorasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR