Din... Din... Diiiiiinnn! Setttt! Hasbi, pengemudi kami, membunyikan klakson seraya menginjak pedal rem dengan mendadak. Kami serentak terhuyung ke depan. Uh, mobil ini nyaris menggilas anak kambing yang hendak melintas di jalan raya. Lalu, perjalanan kami berlanjut menyusuri jalan yang membelah Desa Sulamadaha, desa paling utara di Pulau Ternate. Din... Din... Diiiiiinnn!
“Kambing tertabrak di jalan itu bukan masalah kita karena kambing seharusnya dikandangkan,” ujar Sarifudin Koroy yang duduk di kabin depan. Lalu, dia berkelakar, “Kecuali kita menabrak kambing di kandangnya itu baru masalah!”
Koroy, lelaki berkulit gelap yang serejang tampak serius dan serejang tampak jenaka, merupakan pemandu yang menemani kami selama menjelajahi pulau ini. Dia lahir di Ternate, namun leluhurnya berasal dari Kabupaten Kepulauan Sula, kawasan ujung selatan Provinsi Maluku Utara.
“Suku saya datang untuk membantu Kesultanan Ternate,” kata Koroy dengan bangga mengisahkan leluhurnya yang berjejak ke Ternate berabad silam. “Mereka datang sebelas orang.” Ketika itu, demikian sambungnya, Ternate dan Sula merupakan kawasan yang berdaulat. Akhirnya atas titah Sultan, mereka diperbolehkan membuka dan mendiami wilayah di sisi utara Kota Ternate. “Dengan kekuatan selemparan batu, jadilah kampung itu,” kata Koroy sembari menengok ke arah kami yang duduk di kabin belakang. “Di sinilah keturunannya orang Sula—Desa Sulamadaha.”
Tara no ate—asal sebutan Ternate—berarti “turun dan perbaiki”. Saya beruntung bisa menyambangi pulau yang luasnya sekitar dua kali Jakarta Pusat ini; demi menyaksikan sempurnanya perjumpaan sang rawi dan rembulan pada awal Maret silam. Peristiwa gerhana matahari adalah hal lumrah dalam sains. Namun, di mana dan bersama siapa kita kala menyaksikannya, itulah yang membuat gerhana menjadi istimewa. Saya kagum dengan perbentengan di Maluku Utara, dan berniat mencumbui salah satunya ketika temaram gerhana tiba.
Pulau Gapi adalah nama otentik untuk pulau ini. Entah sejak kapan sebutan Pulau Gapi berubah menjadi Pulau Ternate. Bahkan, peta Cosmographia goresan kartografer Sebastian Münster, yang terbit pada 1550, sudah menyebutkan toponimi “Taranate”—meski lokasinya agak mengawur. Münster mendapat rujukan dari peta Ptolomeus, catatan Marco Polo, dan kabar tersegar dari orang-orang Portugal yang menjelajahi Maluku pada awal abad ke-16. Saya pikir, orang-orang Portugal-lah yang harus bertanggung jawab soal penggantian toponimi tanpa kenduri ini.
Sumpah! Ternate sungguh memukau dari angkasa. Saat mendusin dalam perjalanan udara Jakarta-Ternate, saya terkesiap dengan gugusan pulau berkelambu kabut pagi. Di antara Pulau Ternate dan Pulau Tidore, tersisip Pulau Maitara. Mata saya, yang masih mengantuk, menyingkap permukiman padat yang menggelayuti pesisir Ternate. Latarnya meneduhkan hati: Puncak Gamalama yang berselendang asap tipis.
Selintas pemandangan itu mengingatkan saya pada litografi karya Francois Valentijn, pegawai VOC (kongsi dagang Hindia Timur). Litografi berjudul “Ternate”, melukiskan panorama kota dari lautan, terbit dalam Oud en Nieuw Oost Indien pada 1726. Saat itu wajah permukiman Ternate tak sepadat hari ini. Valentijn melukiskan dengan menonjol Fort Oranje dengan berbagai bangunan kantor dan gudang VOC di dalamnya. Kini, pemandangan benteng itu tenggelam dalam kepungan ruko.
“Dahulu ini semua lautan,” ujar Koroy sembari menunjuk deretan ruko kala kami berada di atas gerbang Fort Oranje. “Permukiman di depan benteng ini baru-baru saja.” Pada akhir 1970-an, Koroy masih menyaksikan lautan di depan benteng itu. Sayangnya, beberapa dekade lalu, pesisir itu telah direklamasi demi kompleks pertokoan yang memunggungi samudra—melupakan leluhur mereka yang memuji samudra.
Para pelaut Belanda berhasil mencapai kepulauan ini berkat gulungan peta karya kartografer Portugal yang berhasil mereka curi. Kabarnya, benteng ini dibangun Belanda pada 1607, di atas puing-puing Fort Malayo milik Sultan Ternate. Luasnya, nyaris setara lapangan sepak bola! Benteng ini pernah menjadi kantor pejabat tertinggi VOC, bahkan sebelum Jan Pieterzoon Coen mendirikan Kota Batavia di Sunda Kelapa.
Andai saja Belanda tidak mendapat kapling tanah di Sunda Kelapa, wajah Ternate mungkin akan sehiruk-pikuk Jakarta sekarang. Membayangkannya saja, saya sungguh merasa ngeri.
“Benteng Oranje memiliki hubungan emosional dengan orang Palembang,” ujar Koroy. “Sultan Badaruddin II dibuang di sini dan wafat di sini pula.” Diaspora pengikut Sultan Palembang itu masih mendiami sudut Kota Ternate. “Sekarang keturunannya masih ada.” Koroy berkata dengan mata berbinar, “Ibu saya masih keturunan Palembang.”
“Wuwww... wuwww... wuwww,” sorak pelancong yang menyaksikan peristiwa ketika rembulan berpelukan dengan rawi di angkasa Fort Tolucco. Mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan meluapkan ketakjuban dan kesyahduan semesta. Jelang pukul sepuluh siang, benteng itu bersaksi atas gelumat dan perasaan campur aduk para pengunjungnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR