Nationalgeographic.co.id—Dibangun lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Petra terus memukau wisatawan dan arkeolog. Namun siapa yang membangunnya dan mengapa kota ini ditinggalkan penghuninya?
Saat memasuki Petra dari ngarai berkelok yang dikenal sebagai Siq, pengunjung akan disuguhi bangunan menjulang Al Khazna. Disebut juga sebagai the Treasury atau Perbendaharaan, bangunan itu diukir dari batu pasir berwarna merah muda. Bagi banyak wisatawan, kunjungan ke kota kuno di barat daya Yordania berakhir di sini.
Namun, Petra memiliki lebih banyak hal untuk ditawarkan. “Termasuk lebih dari 600 fasad batu dan daftar petunjuk menarik tentang penduduk masa lalunya,” tulis Carolyn Wilke di laman National Geographic.
Petra berfungsi sebagai ibu kota orang Nabatea selama ratusan tahun sebelum orang Romawi mencaplok kerajaan tersebut tahun 106 M. Pusat perdagangan kuno itu pernah menampung puluhan ribu orang. Namun, populasi kota itu telah lama menyusut pada tahun 1812. Di tahun 1812, seorang petualang Swiss Johann Burckhardt berpura-pura menjadi seorang peziarah Muslim yang mencari makam Nabi Harun. Ia meyakinkan seorang pemandu Bedouin untuk membawanya ke kota itu, yang oleh banyak orang Barat dianggap sebagai mitos. Sejak saat itu, ketenaran Petra semakin meningkat.
UNESCO menobatkan reruntuhan Petra sebagai situs Warisan Dunia pada tahun 1985. Bahkan film Indiana Jones and the Last Crusade tahun 1989 menggunakan Petra sebagai panggung untuk beberapa adegan.
“Jika ingin mengunjungi Petra, Anda tidak dapat menjelajahinya dalam satu hari,” kata Zeyad Al-Salameen, seorang arkeolog di University for Humanities in Abu Dhabi di Abu Dhabi.
Dari puncak Umm al-Biyara, situs di gunung tertinggi Petra yang berisi reruntuhan dari Zaman Besi, pengunjung dapat melihat jalan utama. Jalan utama itu melintasi kota. Dari situs itu, pengunjung juga bisa mengamati tata letak kuil dan keramaian wisatawan di bawahnya.
“Anda akan melihat kota yang hidup di depan Anda,” kata Al-Salameen. Ia adalah penduduk asli daerah tersebut yang menghabiskan masa mudanya menjelajahi kuil, monumen, dan rumah di Petra.
Sebagian besar kota tersebut masih belum digali dan dokumen yang menggambarkan suku Nabatea masih langka.
“Suku Nabatea tidak benar-benar meninggalkan catatan tertulis mereka sendiri,” kata Megan Perry, seorang antropolog di East Carolina University di Greenville, North Carolina. Namun, para peneliti telah mempelajari kehidupan di Petra dari tulisan-tulisan Yunani dan Romawi. Juga dari dokumen komersial yang tercatat pada papirus, dan reruntuhan itu sendiri.
Baca Juga: Upaya Menyelamatkan Petra dari Kehancuran akibat Perubahan Iklim
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR