Arloji saya menunjukkan angka 15.30. Buat saya, terik matahari masih seperti pukul 13.00. Setelah melongok sejenak peta kota yang mudah ditemukan di mana saja, saya memilih menyusuri High Street yang sepertinya lengang. Bangunan-bangunan gaya Georgia dan Victoria tua di kanan-kiri jalan menemani penjelajahan solo saya. Sejenak saya berhenti di depan gedung bergaya Inggris lama dengan jendela kaca besar. Tulisan Notre Dame tertatah di dinding, rupanya ini bangunan kampus. Refleks tangan saya mengusap dinding batunya. Terasa kasar sekaligus licin, entah sudah beberapa kali dilapis sejak pemilik pertamanya. Berabad lalu mungkin ada yang melakukan hal yang sama seperti saya, melongok ke etalase gedung, tergiur jam saku baru asli London yang dipajang, barangkali.
Penguasa koloni merasa penting untuk membangun pelabuhan di Fremantle. Posisinya yang tepat berada di muara Sungai Swan yang lebar sangat strategis untuk menjadi titik keluar masuk. Membangun Fremantle sebagai kota pelabuhan artinya kapal-kapal bisa merapat dan mengeksplorasi tanah Australia bagian barat ini dengan lebih mudah. Kota Fremantle diambil dari nama Kapten Charles Fremantle yang mendirikan markas koloni Inggris di wilayah ini tahun 1829. Masyarakat menggunakan versi yang lebih singkat: Freo.
Saya berbelok ke pusat kota di Market Street. Membaur di tengah keriuhan pejalan kaki dengan berbagai bahasa yang asing di telinga. Seniman jalanan sedang sibuk mengapur lukisannya di jalan, bukan tipe pewarna permanen sehingga tak ada yang melarangnya. Seorang perempuan dengan rambut gimbal bersandar di tembok sebuah toko. Gelang manik berderet melingkari pergelangannya. Semakin mendekati Old Market, para seniman jalanan dan pemburu kebebasan terlihat di sana-sini. Freo dan kaum hipster sepertinya punya hubungan akrab.
Australia menjadi salah satu tempat favorit kaum hipster sejak negara bagian New South Wales menjadi tuan rumah festival tahunan Aquarius tahun 1973. Festival yang dikenal di kalangan hipster seantero jagat. Begitu festival tadi selesai, rupanya banyak yang jatuh cinta pada benua baru ini, beberapa memutuskan tinggal di New South Wales dan membangun kota hipsternya sendiri. Sisanya menelusuri Australia bagian lainnya. Filosofi hidup warga Fremantle yang menjaga keseimbangan hidup sepertinya cocok dengan mereka.
Kafe-kafe mulai menata kursi dan meja di trotoar, para pelancong memilih tempat yang disukainya sepanjang Cappucino Strip, ruas jalan di sekitar Old Market yang menjadi tempat bersantai dan minum kopi sore. Musik blues mulai terdengar dari salah satu kafe. Saya mempercepat langkah menuju Old Market yang akan tutup sekitar pukul 17.00. Saya tidak mau kehilangan momen mencicip jajanan pasar ala Freo. Jika ingin melihat seberagam apa penduduk suatu tempat, pergilah ke pasarnya.
Aroma sosis panggang buatan rumah dan harum kopi yang baru digiling berebut mendominasi hidung. Keriuhan obrolan jual beli mendengung konstan. Seorang penyanyi jalanan bersemangat menyanyikan Jolene ditemani petikan gitarnya. Warna-warni kios dan dekorasinya menggoda isi dompet untuk dihamburkan. Sebuah kios teh yang cukup ramai menjadi magnet bagi kolektor teh seperti saya. Tak jauh dari antrean di depan kios minuman dengan barista bergaya rambut hipster yang begitu fokus meracik sejumlah pesanan.
“Ini semua diracik di Freo?” tanya saya kepada ibu penjaga kios teh.
“Ya, ya, semua diracik di sini. Beberapa teh dasarnya ada yang kami impor dari Inggris, India, dan Indonesia. Tapi kreasi racikannya kami ciptakan di sini,” jawabnya sambil menata beberapa pak teh di dekat kasir.
Saya tahu betapa sulitnya membuat racikan teh, harus benar-benar harmonis antara teh dasar yang digunakan dengan bahan tambahan yang dicampurkan. Setiap jenis teh punya karakternya masing-masing. Setiap racikan teh harus membuat karakter itu tetap terasa, sekaligus berpadu dengan unsur tambahan. Saya mengambil satu bungkus teh cokelat dan menimangnya di tangan. Campuran antara teh hitam dengan remah kukis cokelat. Saya tahu rasanya pasti hangat dan merelaksasi. Cocok diminum pada malam yang dingin atau hari hujan. Racikan teh untuk menyamankan hati dan kepala. Saya membeli sebungkus teh cokelat itu, setelah bimbang memilih di antara racikan lain dengan pendekatan teh untuk segala suasana hati.
Senja dan obrolan sore ditemani kopi terlihat di mana-mana. Saya memilih jalan yang lebih sepi, dengan tembok-tembok bergrafiti rapi penuh warna di sebelah kanan. Mereka memadukan warisah sejarah kolonial dengan gairah kebebasan memilih visi hidup, yang ajaibnya cukup berpadu. Ah, barangkali saya akan datang lagi lain waktu, lengkap dengan perbekalan hidup dan orang terkasih. Saya kembali melirik arloji. Sudah waktunya, saya harus pergi dari sini.
--------
MUTHIA ESFAND Pemimpin redaksi sebuah lembaga penerbitan buku ini menyukai seni beladiri. Itu sebabnya, ia tidak pernah tersengal saat menjelajahi kawasan berbukit atau mengayuh sepeda. Ia menamatkan Sastra Asia Barat di Universitas Gadjah Mada.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR