Sungai Musi dibelah Jembatan Ampera. Di bawahnya tampak berjejer empat buah perahu bercat warna warni cerah. Kita dapat menggoyang lidah di dalam rumah makan terapung ini sambil digoyang gelombang Sungai Musi, sembari merasakan denyut Pasar 16 Ilir.
Pintu masuknya nyaris sama, bertuliskan “Pindang Pegagan”. Pindang merupakan makanan berat favorit bagi warga Palembang. Pindang adalah masakan berkuah yang menggunakan banyak bumbu dan rempah dengan bahan utama aneka ikan, udang serta tulang atau daging sapi.
Makan daging ikan sudah menjadi keseharian warga Palembang. Kontur wilayahnya yang memiliki banyak sungai dan rawa telah membuat Palembang diberkahi dengan aneka ikan, udang, kerang. Namun semakin hari banyak rawa yang beralih fungsi menjadi pemukiman dan toko. Warisan rumah panggung yang anti banjir berganti rumah beton permanen yang ruangan dalamnya kerap kebanjiran saat musim hujan. Dahulu, rumah-rumah menghadap sungai sebagai jalan raya bagi perahu, sampan yang jadi alat transportasi utama. Namun kini, rumah dan toko menghadap jalan aspal atau semen tempat rupa-rupa kendaraan bermesin yang melintas.
Ada empat macam pindang yang mewakili wilayah geografis dan suku asalnya: Pindang palembang, pindang pegagan, pindang meranjat dan pindang musi rawas. Semuanya memiliki cita rasa khas.
Mbok Sri yang berusia 48 tahun menjual pindang pegagan seperti tiga kedai terapung tetangganya, kendati ia sendiri berasal dari daerah Komering. “Yang laen tu uwong Pegagan galo, kalu ayuk ni uwong Komering”.
Kedai pindangnya bertajuk Rumah Makan Terapung Mbok Sri. Ikan patin yang sering digunakan adalah patin ternak atau tambak. Karena harga yang murah serta stok melimpah sehingga mudah didapatkan di pasar. Namun, soal rasa, patin liar atau patin sungai yang menjadi juaranya. Ikan berkumis yang hidup liar disungai ini semakin hari makin sulit didapatkan.
Sementara, Ibu Ucha yang berusia 65, memiliki kedai pindang meranjat menuturkan bahwa dahulu kala ikan patin sungai mudah didapatkan di Dusun Meranjat. Namun kini semakin hari semakin sukar. Penyebabnya, banyak yang mati terkena racun potas yang dimasukkan kedalam perairan di kampungnya; Meranjat.
Bukannya ingin menyombongkan diri, namun jika semua orang punya keahlian mencicip, semua orang akan berjualan makanan dan tak ada orang yang berjualan pakaian atau kebutuhan pokok lainnya. Menurutnya, lidah adalah anugerah dari Sang Kuasa.
“Banyak yang biso beken pindang, tapi kalu cicipan kurang biso. Ibu ni memang cocok di rumah makan kareno biso nyicip. Bukan sombong bukan, kalu biso nyicip lemak makanan, uwong la bejualan makanan galo, katek yang nak jualan pakaian, jual sembako. Lidah ni anugerah dari Allah.”
Ibu Ucha mengatakan banyak orang bisa memasak pindang, namun soal rasa tak semuanya bisa. Dia cocok bekerja di rumah makan lantaran memiliki keahlian dalam mencicip. Bukannya ingin menyombongkan diri, namun jika semua orang punya keahlian mencicip, semua orang akan berjualan makanan dan tak ada orang yang berjualan pakaian atau kebutuhan pokok lainnya. Menurutnya, lidah adalah anugerah dari Sang Kuasa.
Karena harus menggunakan bahan yang segar, Ibu Ucha masih sering berbelanja sendiri. Jam setengah enam pagi sudah ke pasar. Menenteng aneka barang belanjaan di kiri dan kanan tangan.
Bumbu pindang tak ada aturan dan timbangan bakunya. Pada zaman dahulu kala sang nenek di kampung meracik pindang tidak menggunakan takaran serinci masa kini. Apa lagi bumbu masakan adalah buah dan sayur segar yang harus dicicip dahulu agar kita tahu jenis rasanya. Warisan leluhur berupa santapan ini bahannya sehat dan berkhasiat. Lalapan hijau dan bumbu rempah herbal juga ramah lingkungan.
Kedua pemilik pindang itu memiliki kesamaan. Tak begitu peduli dengan persaingan dengan sesama pebisnis pindang. Sibuk dengan aktifitas harian dan berusaha menyuguhkan racikan pindang yang terbaik.
Jam menunjukan pukul lima sore, saya bergegas meninggalkan sisi dermaga. Awan hitam mulai menutupi kawasan Pasar 16 Ilir. Rintik hujan membasahi Sungai Musi yang masih sering dipakai warga, kendati airnya tak semurni ketika Mbok Sri dan Ibu Ucha masih belia.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR