“Lihat deh Mas, orang-orang yang ke sini lebih senang lihat pemandangannya daripada melihat tugunya,” seru saya kepada Manik Mustikohendro, teman seperjalanan dan awak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Manik pun menyahut, “Mungkin itu yang membuat Jenderal MacArthur memilih markas di sini, biar lebih mudah mengawasi pasukan Jepang.”
Betul juga pikir saya, hamparan Danau Sentani dan Bandara Sentani begitu jelas terlihat dari sini.
Kami berkunjung ke Situs Megalitik Tutari. Kali ini ditemani oleh Hugo Reinhard, operator di SMK Negeri 1 Sentani. Apesnya, pintu pagarnya dalam keadaan terkunci. Terlihat kondisi pagar yang sudah rebah ke tanah, namun tertutup semak. Lewat pagar itulah kami masuk ke kawasan situs.
Batu megalitik yang pertama berlukiskan ornamen ikan dan buaya (atau mungkin kadal) dengan corak berwarna putih. Kami juga menjumpai deretan batu-batu bulat yang tersusun memanjang searah jalan yang kami lalui. Deretan batu-batu bulat ini disebut Mietoomo atau kompleks batuan perempuan. Di bagian paling atas dari jalan ini terdapat puluhan batu menhir kecil setinggi lutut orang dewasa. Puluhan batu menhir ini disebut Dootomo, yaitu kompleks batuan laki-laki. Kedua kompleks batuan ini menghadap ke Danau Sentani.
Sebelum ke Situs Megalitik Tutari, kami mengunjungi Gereja Tua Asehi, cagar budaya yang terdapat di Pulau Asei Kecil, sebuah pulau di Danau Sentani. Gereja yang berdiri di puncak pulau ini dibangun setelah Perang Dunia Kedua. Gereja yang sebelumnya dibangun di tepi pulau hancur akibat perang.
Di lapangan dekat dermaga pulau, ramai oleh mama-mama yang menjual hasil kerajinan tangan. Salah satu kerajinan tangan itu adalah lukisan kulit kayu khombouw. Corak lukisannya simbol-simbol abstrak, aneka satwa, dan mitos setempat. Kulit kayu ini juga dibuat menjadi penghias kepala dan tas. Tas noken dan kapak batu yang biasa sebagai maskawin pun dijual di sini.
Saya membeli beberapa tas noken pesanan dari kawan-kawan, Manik pun membeli dua lembar lukisan kayu. Saat kami pamit hendak melanjutkan perjalanan, si Mama yang menjual lukisan kayu, berkata “helem foi.”
“Apa artinya?” tanya saya.
“Terima kasih banyak, thank you very much,” jawabnya.
“Helem foi, Mama,” ujar saya, lalu berpamitan lagi.
Helem foi Sentani, semoga cagar budaya yang sarat sejarah ini bisa dijaga dan dirawat dengan baik.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR