“Kita harus berangkat pagi sekali agar tak kena buka tutup jalan,” begitu kata Pak Inte, pengemudi yang kalem dan irit bicara. Kebetulan, sepanjang jalur yang akan kami lintasi itu banyak proyek perbaikan infrastruktur jalan. Karena jalan menyempit, petugas membuat aturan “sistem buka-tutup”. Kemalaman di jalan adalah rawan dan gawat, pasalnya, kami berada di kawasan persembunyian teroris.
Pak inte memindahkan perseneling rendah. Kami bersiap merambati jalanan yang mendaki pegunungan selama dua jam. Kedatangan kami di Sulawesi Tengah disambut semaraknya berita teroris Santoso yang ditembak mati oleh aparat keamanan di Kabupaten Poso sehari sebelumnya.
Pengetahuan Pak Inte tentang daerah ini mumpuni. Dia hapal setiap lekuk lembah dan titik-titik jalan rusak. Saya pun tak meragukannya saat ia memperkenalkan dirinya sebagai orang asal Lembah Bada. Saya sedikit tenang.
“Itu Sungai Merah!” serunya, saat kami menyeberangi jembatan. Saya menengok ke bawah, dan memangdangi airnya yang berwarna merah kehitaman. Saya mencoba melihat Google Earth, namun sungai ini justru disebut “Sungai Coca-cola”!
Sore hari kami sudah memasuki perkampungan di Lembah Bada. Kami bergegas menuju Desa Lengkeka, tempat rumah adat Lore yang biasa disebut tambi. Inilah rumah panggung bagi warga yang mendiami lembah ini. Tambi dalam bahasa setempat berarti rumah. Arah orientasinya selalu utara-selatan, beratap curam. Uniknya semua sambungannya menggunakan pasak kayu, bukan paku.
Sejatinya, tambi Kampung Lengkeka itu tergolong baru. Rumah itu dibangun karena rumah tua di padang rumput desa tetangga, Kolori, terbakar beberapa tahun silam. Letaknya di dekat arca megalitik tersohor di Lembah Bada—arca pelindo.
“Memang kawasan megalitik terbesar di Indonesia ini masih seperti lilin-lilin yang redup.”
Arca itu dijuluki “pelindo” karena menggambarkan orang tersenyum. Dalam bahasa suku Bada orang jenaka atau orang tersenyum disebut pelindo—tidak ada kaitannya dengan perusahaan negara yang mengelola pelabuhan di Indonesia. Arca sosok lelaki itu tingginya hampir empat meter, dan lebarnya lebih dari satu meter. Pembuatnya sudah tentu nenek moyang orang Lore. Saat saya menyaksikan dengan saksama, arca yang sudah miring itu memang seolah sedang tersenyum.
Apakah itu senyuman leluhur dari masa silam yang ditujukan untuk kita? Apakah itu semacam pesan?
Di Lembah Bada, saya juga menjumpai beragam temuan megalitik di kampung-kampung sekitarnya, bahkan di pekarangan warga. Di Desa Kolori, kami menjumpai kalamba dan lumpang batu. Kalamba adalah kubur dari bahan batuan andesit—semacam kubur batu atau sarkofagus. Dalam tradisi megalitik, biasanya orang meletakan jenazah di dalam batu yang diberi lubang dan penutup. Ukurannya memang pas untuk persemayaman jenazah.
Lembah Bada bukan satu-satunya tempat penemuan artefak tradisi megalitik. Sekitar 30-an kilometer di sebelah utaranya, muncul juga Lembah Besoa. Kemudian, 30-an kilometer ke barat lautnya berlokasi Lembah Napu. Kedua lembah itu memiliki temuan serupa Lembah Bada. Namun, lantaran tak ada jalan pintas, kami harus berkendara memutar sekitar 150 kilometer untuk mencapai keduanya.
“Kita jangan jalan malam hari ke sana, karena daerah rawan,” terang Pak Inte. Kami tegang saat kendaraan meninggalkan Poso menuju pesisir, kemudian mulai mendaki memasuki kawasan Pegunungan Biru. Tampak palang kayu di tengah jalan. Kami tiba di pos pemeriksaan Operasi Tinombala.
Ketika menyaksikan pos pemeriksaan, kok hati saya berdebar-debar ya?
Mobil berhenti. Kami turun menuju pos yang dijaga tentara. Mereka mencatat identitas kami. Tentara-tentara itu ternyata ramah. Bahkan, para tentara itu tampaknya ingin mengajak mengobrol santai. Mungkin mereka kesepian juga.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR