Dengan mengukur gelombang otak, para ilmuwan di Northwestern University bisa memprediksikan waktu, lokasi, dan tujuan serangan teroris. Citra otak tersebut dibuat berdasarkan reaksi otak terhadap beberapa gambar yang ditampilkan di depan orang yang diduga akan melakukan serangan.
Pada saat percobaan, J. Peter Rosenfeld, ilmuwan dari Northwestern University, membagi 29 mahasiswanya ke dalam 2 grup. Grup pertama diminta membuat rencana jalan-jalan ke suatu kota, sementara grup lain diminta merencanakan serangan. Setelah itu, elektroda ditempelkan ke kepala mereka. Para mahasiswa dihadapkan pada rentetan gambar berbagai kota, gambar akibat serangan teroris, dan beberapa gambar lain yang tidak berhubungan.
Saat gambar ditampilkan, elektroda merekam gelombang otak P300, gelombang otak yang terjadi di luar kemauan dan menyebar ke seluruh bagian otak akibat suatu rangsangan. Semakin besar reaksi seseorang terhadap sebuah gambar yang muncul, semakin kuat gelombang P300 yang dihasilkan. Seluruh mahasiswa yang merencanakan suatu serangan memiliki gelombang P300 yang kuat ketika gambar kota yang jadi sasaran ditampilkan. Mahasiswa, yang berencana menyerang kota lain, tidak menunjukkan gelombang P300 yang sama kuat pada gambar yang sama. Para peneliti juga memperhatikan gelombang P300 pada mahasiswa yang berencana berlibur di kota tersebut, tapi mereka tetap bisa membedakan rencana serangan dengan rencana liburan.
"Gelombang P300 ini bisa dijadikan dasar untuk mencegah serangan teroris," Rosenfeld berkata dengan yakin. Mahasiswa-mahasiswa yang diminta membuat rencana serangan selama 30 menit saja sudah dapat ditebak berdasarkan gelombang P300. "Apalagi teroris sungguhan yang telah merencanakan berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan, mereka pasti punya gelombang P300 yang lebih kuat," ujar Rosenfeld.
Teroris ternyata bisa saja membuat gelombang P300 palsu. "Mereka bisa memikirkan pacar atau menggoyang-goyangkan jempol kaki," kata Rosenfeld. Intinya, mereka cukup membuat suatu stimulus palsu untuk gambar yang tidak berarti bagi mereka. Dengan demikian, petugas keamanan bisa salah menebak.
Sebuah studi yang tercatat dalam artikel Psychophysiology, 83 persen stimulus palsu bisa dikenali. Meskipun demikian, Rosenfeld mengaku bisa menerka nyaris 100 persen stimulus palsu.
Meski terdengar menjanjikan, teknologi ini belum akan dipakai dalam waktu dekat untuk mencegah terorisme. Tapi paling tidak, teknologi ini menawarkan hal baru yang suatu saat bisa dipakai oleh para penegak hukum.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR