Kode ini diterapkan dengan tegas dan efektif. "Para pelaut Barat yang menjadi tawanan melihat banyak perompak yang dicambuk, ditancap besi panas, atau dikunci dalam penjara kapal," katanya.
Selain itu, setiap hasil jarahan harus dilaporkan seluruhnya kepada Ching Shih. Ia menerapkan sistem bagi hasil, 20 persen jarahan diberikan kepada kapal yang menjarah, dan 80 persennya diserahkan kepada kas bersama.
Berkat kode etik yang tegas dan sistem bagi hasil yang jelas, Armada Bendera Merah menjadi perompak yang paling terorganisir dan ditakuti di Laut Cina Selatan. Mereka mampu melakukan penjarahan secara efektif dari Guangdong hingga koloni Portugis di Makau. Untuk menghindari jarahan, para penduduk desa lebih memilih untuk memberikan upeti dan bahan pangan yang vital untuk aktivitas laut yang melelahkan.
Meskipun jarahan ini membuat mereka kaya raya, Armada Bendera Merah tidak semata-mata terlena. Mereka tidak sekadar untung-untungan mencari kapal jarahan, tetapi juga menjalani bisnis tambak garam untuk penghasilan tetap. Dengan ini, perputaran uang untuk membeli suplai dan perbaikan kapal tetap mengalir mulus.
Tidak hanya di pelabuhan, armada Ching Shih juga menjadi teror di laut. Dari kapal militer hingga pedagang, semua diserang. Baik kapal Qing, Portugis, Prancis, Inggris, bahkan Amerika sekalipun mereka terjang. Para kapal yang melintas terpaksa membeli "sertifikat izin masuk" agar kapal mereka tidak dijarah.
Baca Juga: 'Wanita Kelelawar' Kontroversial dari Wuhan Bicara soal Asal Pandemi
Reputasi ini menjadi momok bagi angkatan laut Qing. Para laksamana sering kali menyauh di pelabuhan, dengan alasan "menunggu angin bagus". Situasi yang semakin mencekam dari waktu ke waktu membuat para kelasi lebih memilih untuk membakar kapalnya sendiri daripada mati di tangan perompak.
Kabar santer ini kemudian terdengar oleh Kaisar. Pada 1808, Kaisar akhirnya secara langsung mengerahkan pasukan ke Guangdong. Mudah ditebak, pasukan khusus Kaisar luluh lantak di tangan Armada Bendera Merah. "Mereka berhasil menghancurkan 63 dari 135 kapal angkatan laut Guangdong," tulis Murray. Pelaut Qing pun ditawan, dan mereka mau tak mau memilih untuk bergabung dengan Ching Shih.
Kaisar akhirnya terpaksa bernegosiasi dengan Portugis dan Inggris, musuh bebuyutan mereka sejak lama. Pada 15 September 1809, Qing membeli kapal Inggris Mercury dan meminjam enam frigat Portugis selama enam bulan. Usaha ini gagal total, dan bahkan memaksa Inggris dan Portugis untuk bernegosiasi langsung kepada Cheung Po.
Baca Juga: Kisah Teladan Para Tokoh yang Menginspirasi di Balik Festival Peh Cun
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR