PAGI ITU, mentari yang masih belia mulai mengintip dari celah-celah di antara batang-batang pohon yang menjulang di perbukitan kawasan Situgunung, Sukabumi, Jawa Barat. Berkas sinarnya menembus sela-sela dedaunan yang rimbun dan berembun. Kabut berarak rendah di atas Kampung Pesanggrahan dan Cikaramat di bawah kaki bukit. Beberapa peserta kemping di TanaKita, bumi perkemahan "bintang lima" yang dikelola oleh Rakata Adventure, terlihat mulai keluar tenda, meregangkan otot pertanda semalam tadi mereka tidur nyenyak. Peserta lain, termasuk saya, memilih untuk langsung mencicipi sarapan pisang goreng dan teh hangat sambil memandangi langit di awal hari. Sementara di sudut beranda pandang—yang memang dirancang agar pengunjung bisa menikmati panorama hingga ke batas cakrawala—seorang peserta sibuk dengan kameranya, mengabadikan pagi. Sekitar setengah jam kemudian, hampir seluruh peserta kemping sudah berkumpul di lapangan utama. Rahmat, instruktur dari Rakata, mengeluarkan aba-aba agar para peserta berkumpul ke tengah untuk melakukan pemanasan dan peregangan. Pemanasan dilakukan dengan amat kreatif, berupa permainan kekompakan dan konsentrasi tetapi tetap penuh tawa. Rahmat berhasil membuat suasana hangat di pagi yang dingin itu. Peregangan dengan menggerak-gerakkan hampir seluruh bagian persendian tubuh pun menutup persiapan kami untuk mencoba tubing di Sungai Cigunung. Tubing (dalam hal ini water tubing atau river tubing karena dilakukan di air/sungai) adalah aktivitas rekreasional bernuansa petualangan, di mana seseorang duduk berbaring di atas sebuah ban dalam (kerap disebut sebagai donat, karena bentuknya) dan meluncur mengikuti arus sungai. Kegiatan ini kental dengan nuansa petualangan karena seorang tuber, sebutan untuk pemain tubing, hampir pasti diombang-ambingkan arus dan hentakan dari batu-batu kali yang besar, yang membentur-bentur ban dalam. Tidak jarang, seorang tuber cedera karena tergores tepian batu, atau terlempar dari ban saat menghunjam ke jeram yang dalam. Seru! Saya sendiri hampir lima kali terjungkir saat meluncur ke jeram-jeram di Sungai Cigunung ini. Minum air sungai pun tidak terhindarkan. Untungnya, dalam pengarungan sejauh hampir dua kilometer yang ditempuh dalam tempo sekitar 45 menit ini seluruh bagian tubuh saya tidak tergores sesenti pun. Helm, decker (pelindung tulang kering), dan sepatu yang saya kenakan sepertinya bekerja dengan baik. Hanya sedikit pegal-pegal di bagian leher karena posisi berbaring yang kurang ideal. Akan tetapi, salah seorang rekan tuber sepertinya kurang beruntung: dia harus berbalut plester karena luka lecet di kedua siku dan kakinya. Tubing di air pada umumnya dibagi menjadi dua jenis: bertali (ditarik), dan apung-bebas (free-floating) sebagaimana yang saya lakoni di Rakata. Tubing bertali biasanya dilakukan di badan air yang lebih lebar. Ban diikatkan pada sebuah motor boat, tuber kemudian ditarik mengarungi air. Sementara dalam tubing apung-bebas, tuber tidak terikat apa-apa, hanya mengandalkan arus air. Tidak heran jika saya berkali-kali harus kandas alias tersangkut di bebatuan. Menurut majalah Time, tubing diduga ditemukan di Thailand oleh Ratu Chumbhot dari Nagar Svarga, pada pertengahan abad ke-20. Di beberapa negara yang memiliki musim dingin, kegiatan tubing dilakukan di atas salju, dengan meluncur dari ketinggian. Berbeda dengan tubing air, tubing salju diperkirakan sudah dilakukan sejak 1820-an di Pegunungan Alpen. Belakangan, muncul varian terbaru tubing, yakni tubing layang-layang. Bukan, bukan berarti tubing ini ditarik oleh layang-layang, melainkan ban dalam yang dikendarai tuber akan melayang saat ditarik dengan kecepatan tinggi oleh sebuah motor boat, layaknya layang-layang. Jadi, tuber melayang di atas ban, seperti Aladin yang melayang di atas karpet terbang. Namun, karena dianggap berbahaya, permainan menantang nyali ini tidak berkembang. "'Jualan' tubing sungai ini adalah air yang bersih," jelas Kang Isep, salah satu instruktur di Rakata, kepada saya sesaat sebelum saya menceburkan diri. Dalam tubing, tutur pria yang memiliki potongan seorang pencinta alam sejati ini, kemungkinan seorang tuber untuk terjungkir amatlah besar. Dengan demikian, kemungkinan meminum air juga besar. "Itulah kenapa menjaga kebersihan air mulai dari bagian hulu sungai amat penting," ujarnya. AKTIVITAS TUBING (dan trekking selama hampir satu jam, mendaki punggungan di Situgunung hari sebelumnya) oleh peserta yang terdiri dari para wartawan itu adalah bagian dari cara L'Oreal Men Expert memperkenalkan produk barunya—yang kali ini diperuntukkan bagi kaum pria—White Activ Oil Control Moisturizing Gel Cream. Pada kesempatan itu, L'Oreal Men Expert juga memberi bocoran soal iklan televisi dan media cetak yang bakal mereka rilis dalam waktu dekat, dengan bintang iklan aktor Nicholas Saputra yang juga bertindak sebagai Brand Ambassador L'Oreal Men Expert di Indonesia, dan ikut hadir di kawasan Situgunung 14-15 April lalu. Dalam kesempatan perkenalan produk baru L'Oreal Men Expert tersebut, Nicholas—yang mulai dikenal publik setelah memerankan tokoh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta—memaparkan soal hobi traveling yang mulai digelutinya dalam beberapa tahun terakhir. Kepada para wartawan, peraih predikat Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2005 atas perannya sebagai Soe Hok Gie dalam film Gie ini juga berbagi karya fotografi, buah tangan dari perjalanannya mengelilingi berbagai belahan dunia, di antaranya dari Amerika Serikat, Peru, Yunani, dan tidak lupa foto-foto jepretannya dari berbagai pelosok Nusantara seperti Pulau Komodo, Pulau Weh, dan Banda Naira yang dijelajahinya belum lama ini. "Traveling, buat saya adalah upaya untuk memperkaya khasanah budaya saya sebagai seorang aktor," ujar Nicholas, menjawab pertanyaan soal filosofi traveling bagi dirinya. Bepergian, mengenal budaya asing, berbaur dengan penduduk lokal, imbuh Nicholas, juga sedikit banyak berperan dalam pekerjaannya guna memahami karakter tokoh yang diperankannya. "Selain itu, tentu saja, traveling menambah wawasan, menjadikan kita lebih bijak. Apalagi saya juga amat mencintai geografi," katanya lagi. Menyinggung soal kondisi kulit wajahnya yang tetap terjaga meski kerap beraktivitas di luar ruangan, ditambah dampak aktivitas perjalanannya yang sering kali mesti berganti kondisi iklim dalam waktu singkat, Nicholas mengatakan bahwa fungsi pelembap menjadi sangat penting. "Pelembap membantu menyegarkan kulit sehingga tidak terlihat kering dan kusam," katanya. Menurut Monika Ardianti, Marketing Manager L'Oreal Paris, pria juga perlu merawat kulit dan mengubah citra bahwa kosmetik itu feminin. "Pria Indonesia cenderung cuek terhadap penampilannya, padahal iklim dan cuacanya tidak bersahabat. Apalagi buat para pejalan yang aktif," katanya. Tantangan terberat yang bakal dihadapi oleh produk ini, jelas Monika, adalah meruntuhkan mitos bahwa kulit wanita sama dengan pria, padahal berbeda. "Kulit pria 25% lebih tebal daripada wanita," Monika menjelaskan. Tantangan lainnya adalah meluruskan anggapan umum soal penggunaan pelembap bagi pria yang terkesan "ribet". Karena itu, seperti ditunjukkan dalam trailer iklan televisi yang bakal diluncurkan dalam waktu dekat, kampanye yang akan digaungkan adalah "10 detik" untuk menunjukkan bahwa memakai pelembap bagi pria hanya memakan waktu 10 detik. "Saya rasa, 10 detik itu tidak akan mengganggu aktivitas pria mana pun," Nicholas menandaskan. (Foto 1, 4, dan 5: Dok. Rakata; Foto 2, 3, 6: Firman Firdaus/NGI)
Penulis | : | |
Editor | : | Latief |
KOMENTAR