Dengan bantuan berbagai macam teknologi yang berkembang pada saat ini, ilmuwan berhasil mengenal lebih jauh tentang gempa bumi. Memprediksi gempa? Tentu bisa.
Akan tetapi, manusia belum bisa menyamai kemampuan kodok Bufo bufo yang dapat mendeteksi aktivitas seismik berhari-hari sebelum terjadi gempa. Menurut penelitian yang diterbitkan Journal of Zoologi pada tahun 2010, 96 persen kodok jantan dalam sebuah populasi meninggalkan tempat perkembangbiakan lima hari sebelum gempa bumi di L'Aquila, Italia, tahun 2009. Mereka pergi sejauh 74 kilometer dari lokasi gempa.
Para peneliti belum mengetahui cara mereka mendeteksi aktivitas seismik. Peneliti hanya meyakini kalau kodok dapat mendeteksi tanda-tanda yang halus, seperti pelepasan gas dan listrik sebelum gempa terjadi.
Ilmuwan dapat memprediksi gempa besar menggunakan pergerakan lempeng di dalam Bumi. Teori ini muncul pada tahun 1960-an dan dikonfirmasi pada tahun 1970-an. Mereka juga bisa menerka lokasi kemungkinan gempa dengan melihat sejarah gempa di daerah tertentu serta mendeteksi tekanan di sepanjang garis patahan.
Contohnya, apabila sebuah daerah pernah mengalami 4 gempa berkekuatan 7 magnitude atau lebih selama 200 tahun terakhir, ilmuwan dapat menjelaskan kemungkinan akan ada gempa berkekuatan kurang lebih sama dalam waktu 50 tahun lagi.
Meskipun demikian, prediksi tidak dapat diandalkan. Selain akurasinya hanya 50 persen, tegangan pada sebuah bagian patahan dapat meningkatkan tekanan pada bagian lain juga.
Pada akhirnya, prediksi gempa oleh manusia selalu samar-samar. Gempa yang dapat diprediksi dengan akurasi lebih tinggi adalah gempa-gempa susulan setelah gempa utama. Prediksi gempa susulan dilakukan berdasarkan riset panjang dari pola gempa. Untuk gempa utama, seismolog memberikan risiko kerusakan yang akan terjadi pada suatu daerah.
Seismolog mengukur gerakan kerak bumi di sekitar daerah patahan untuk mengukur tegangan yang terjadi. Pengukuran biasanya dilakukan dengan alat GPS dengan tingkat akurasi yang tinggi. Alat lain, seperti pemindai laser untuk mengukur perubahan bentuk tanah, juga pernah digunakan.
Peneliti juga mengaitkan gempa bumi dengan medan magnet dan listrik dalam bebatuan. Beberapa ilmuwan membuat hipotesis: medan elektromagnetik berubah sebelum gempa bumi.
Selain itu, ilmuwan juga mencari tahu hubungan kebocoran gas dengan gempa bumi. Pada tahun 2009, misalnya, teknisi asal National Institute for Nuclear Phusucs di Italia mengklaim diirnya berhasil memprediksi gempa di L'Aquila dengan mengukur gas di kerak bumi. Temuan teknisi bernama Giampaolo Giuliani masih dianggap kontroversial. Giuliani dianggap tidak pernah menerbitkan laporan yang teruji secara ilmiah yang berkaitan dengan metode pengukuran, analisis data, eliminasi gangguan, dan hubungan statistika. Padahal untuk urusan genting seperti gempa bumi, hal-hal seperti itu sangat penting.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR