Kelelawar pengisap darah menggunakan sensor khusus dengan kemampuan mendeteksi panas tubuh mangsanya dari jarak jauh.
Hewan yang sedang tidur--termasuk burung dan mamalia, bahkan manusia--merupakan mangsa kelelawar pengisap darah. Satwa ini dapat memastikan kondisi calon mangsanya sedang tidur berkat sel otak tertentu yang sangat sensitif terhadap suara hembusan nafas. Setelah menemukan calon mangsa yang sedang tidur, kelelawar harus mengisap darahnya tanpa membangunkannya.
Sensor panas khusus ini mampu membedakan mana area kulit yang melindungi pembuluh darah segar dan mana yang hanya ditumbuhi rambut yang tidak mereka sukai. Kemudian mereka menggunakan gigi yang setajam silet untuk membuat lubang berukuran 5 x 5 milimeter pada kulit mangsanya dan mengisap darahnya.
Hewan nokturnal ini memiliki reseptor yang sama dengan mamalia. Manusia pun menggunakan sensor ini untuk merasakan panas pada kulit dan panas yang ditimbulkan oleh capsaicin, zat yang menimbulkan rasa panas pada cabe. Hanya saja, reseptor kelelawar ini sudah "dimodifikasi" sehingga dapat mendeteksi tingkat panas yang lebih rendah, sekitar 30 derajat Celsius dari jarak 20 sentimeter.
Sebagai perbandingan, sensor panas manusia hanya bisa mendeteksi temperatur maksimal sekitar 43 derajat Celsius--dalam beberapa kasus tertentu yang ekstrem, kita memerlukan kontak fisik dengan sumber panas, seperti alat pembakar pada kompor.
Menurut David Julius, seorang peneliti University of California yang melakukan studi terhadap kelelawar pengisap darah ini, ada perubahan genetis yang telah mengubah struktur sensor panasnya sehingga mengubah batasan temperatur yang memicu aktivasinya. "Ini membuatnya mampu mendeteksi sinyal perubahan temperatur tubuh yang disebabkan aliran darah," jelasnya.
Dengan mempelajari bagaimana adaptasi sensor tersebut dapat mengubah perilaku kelelawar, maka ilmuwan akan dapat dapat menemukan cara untuk mengobati penyakit kronis dan peradangan. (Sumber: LiveScience)
PROMOTED CONTENT
REKOMENDASI HARI INI
Kata-kata yang Menjembatani Dunia: Suatu Refleksi dari Hiromi Kawakami
KOMENTAR