Setelah menggelar kontes selama setahun penuh, FOTOKITA akhirnya menggelar Malam Penganugerahan Pemenang dan Pameran Foto FOTOKITA Award 2011 di Blitz Atrium West Mall level 8 Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta, Jumat (10/2).
Acara ini berbarengan dengan pembukaan pameran foto para nominator FOTOKITA 2011 yang dimulai pada 10-19 Februari 2012 di lokasi yang sama. Kontes ini sendiri mengambil tema 'Populasi Tujuh Miliar' dan terdiri atas dua kategori; Foto Lepas dan Foto Cerita.
Foto Cerita merupakan seri yang berisi lima hingga tujuh foto yang didukung oleh sebuah kisah pendek. Fotografer yang mengikuti kategori Foto Tunggal cukup mengirimkan satu foto. Namun, mereka bisa mengirimkan lebih dari satu foto. Untuk ikut berpartisipasi, peserta terlebih dahulu mesti mendaftar di situs Fotokita.net.
Keluar sebagai juara pertama kategori Foto Lepas adalah Irwandi dengan judul foto 'Siaran Langsung dari Tempat Pembuangan Akhir' dan berhak atas hadiah Rp7.000.000. Sedangkan di kategori Foto Cerita, Yusuf Ahmad dari Makassar keluar sebagai foto terbaik. Foto dengan judul 'Buruh, di antara Realita dan Masa Depan' itu membuat Yusuf berhak atas hadiah uang Rp40.000.000.
"Saya tidak menyangka bisa menang, saya datang dari Makassar ke Jakarta karena memang ada pekerjaan. Tidak menyangka datang kemari bisa menang," kata Yusuf.
Secara keseluruhan, kontes FOTOKITA berhasil mengumpulkan 15.221 foto tunggal dan 678 foto cerita dari 3.623 fotografer. Proses penyaringannya dilakukan dalam empat periode, di setiap akhir periode,akan ada pemilihan lima nominasi Foto Cerita dan sepuluh nominasi Foto Tunggal.
Pada final di bulan Desember 2011, terkumpul 20 Foto Cerita dan 40 Foto Tunggal. Penjurian final akhirnya memilih tiga Foto Cerita dan tiga Foto Tunggal terbaik. "Peserta menyuguhkan hal-hal mengenai populasi tujuh miliar yang tidak pernah kita duga sebelumnya," ujar Kurator Fotografi Yudhi Soerjoatmojo sebagai salah satu juri FOTOKITA.
Foto-foto pemenang bisa di klik di sini
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR