Namun, yang lain berpendapat bahwa stasiun luar angkasa berawak itu mahal, dan lebih bersifat politis daripada ilmiah. “Peningkatan akses ilmiah ke ruang angkasa adalah manfaat ilmiah secara global, tidak peduli siapa yang membangun dan mengoperasikan platform,” kata Julie Robinson, Chief Scientist for human exploration and operations di Markas Besar NASA di Washington DC.
Agnieszka Pollo, astrofisikawan di Pusat Penelitian Nuklir Nasional di Warsawa, merupakan bagian dari tim yang ikut mengirimkan eksperimen. Dia mengatakan bahwa satu stasiun ruang angkasa jelas tidak cukup sehingga kita membutuhkan lebih banyak stasiun ruang angkasa.
ISS diluncurkan pada 1998, sebagai kemitraan antara badan antariksa dari Amerika Serikat, Rusia, Eropa, Jepang dan Kanada. ISS telah menampung lebih dari 3.000 eksperimen sejak saat itu. Tapi, Tiongkok dilarang melakukannya karena aturan AS yang melarang NASA menggunakan dana untuk kolaborasi dengan Tiongkok.
Baca Juga: Para Astronaut Merayakan Olimpiade Musim Panas Tokyo di Luar Angkasa
Di sisi lain, Tiongkok menyatakan tetap akan terbuka untuk kolaborasi dari semua negara, termasuk AS. Meski sebagian besar eksperimen yang dijadwalkan untuk Tiangong akan melibatkan peneliti Tiongkok.
Menurut Tricia Larose, seorang peneliti medis di Oslo University, stasiun luar angkasa telah menawarkan fasilitas baru, dan Tiongkok mendorong eksperimen yang belum pernah dilakukan di luar angkasa sebelumnya. "Mereka mengatakan, ya, bangun perangkat keras anda, lakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dan kirimkan kepada kami," katanya.
Pada Juni 2019, CMSA dan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA), yang mempromosikan kolaborasi di luar angkasa telah memilih sembilan eksperimen, selain dari 1.000 eksperimen yang sementara telah disetujui Tiongkok. Penelitian tersebut, ungkap direktur UNOOSA, Simonetta Di Pippo, melibatkan 23 institusi di 17 negara.
Baca Juga: Ronald McNair, Lawan Rasisme dengan Menjadi Astronaut Challenger
Source | : | Nature |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR