Penelitian arkeologi bawah laut di Indonesia cenderung tidak berkembang dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Pasalnya, biaya pengurusan ijin penyelaman untuk kepentingan ekskavasi arkeologis bawah laut sangat mahal.
Mahalnya biaya perizinan, menurut Pakar Arkeologi Asia Tenggara, Prof.Dr.John N.Miksic dari National University of Singapore, menyebabkan banyak situs arkeologi bawah air terabaikan begitu saja. Banyak pula situs yang rusak karena pukat harimau.
Ia mengatakan, mahalnya izin penyelaman untuk kepentingan ekskavasi arkeologis disebabkan karena tidak ada pembedaan antara kepentingan penelitian dan pencarian barang muatan tenggelam. Menurutnya juga, izin itu mencapai kisaran US$250.000 atau sekitar Rp2,3 miliar.
Selain itu, Indonesia pun tidak memiliki sarana khusus untuk melakukan riset dan ekskavasi arkeologis bawah laut. "Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Thailand dan Filipina memiliki kapal yang memadai untuk melakukan ekskavasi bawah laut," kata Miksic.
Ia melanjutkan, negara di kawasan Asia Tenggara harus memiliki sikap yang sama soal arkeologi bawah laut. Selain dulunya merupakan jalur perdagangan yang sama, barang peninggalan yang ditemukan pun juga hampir mirip.
Penyelam Profesional di Padang, Mabruri Tanjung mengatakan, saat ini kalangan peneliti bawah air sedang menunggu rancangan peraturan pemerintah sebagai penjabaran dari UU No.11 Tahun 2010 tentang cagar Budaya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR