Dangdut merupakan musik paling populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak kemunculannya di tahun 50-an lewat orkes melayu, dangdut mengalami pasang surut.
Awalnya dangdut pernah dianggap sebagai simbol bagi kaum marginal. Dan, mengalami masa puncak pada tahun 1980 hingga 1990-an hingga akhirnya bisa diterima kelompok masyarakat hingga saat ini.
Musik dangdut di Indonesia ternyata menarik peneliti musik dangdut asal Amerika, Prof. Andrew Weintraub yang mendokumentasikannya dalam bentuk buku. Ia mengatakan, dangdut tak berbeda dengan jenis musik lain. Ia tetap berproses mengikuti perubahan selera masyarakat sehingga menuntut ide-ide kreatif bagi seniman dangdut.
“Musik selalu berproses. Mengikuti lingkungan dan keadaan sosial yang berubah. Ide-ide pun harus berubah. Selalu ada proses,” kata Andrew dalam peluncuran buku hasil karyanya yang berjudul "Dangdut, Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia" di Yogyakarta, beberapa hari lalu.
Buku tersebut merupakan hasil terjemahan dari buku aslinya Dangdut Stories. Alasan Andrew menulis buku tersebut, karena kecintaannya terhadap musik dangdut sejak tahun 1984. Penelitian tentang dangdut terus dilakukannya hingga ia menjadi guru besar musik pada Pittsburgh University, Amerika Serikat.
Dalam buku tersebut, Andrew lebih banyak menceritakan perjalanan musik dangdut sejak kemunculannya era 50-an hingga perkembangannya hingga kini. Andrew juga menyertakan hasil wawancara dengan para penyanyi dangdut ternama seperti Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan Elia kadam. Bahkan dalam buku tersebut juga diulas tentang polemik antara Rhoma Irama dengan Inul Daratista terkait "goyang ngebor".
Sementara itu, Andrew masih mempertanyakan apakah dangdut adalah musik nasional. Pasalnya, musik ini justru lebih banyak digemari masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Sebaliknya di bagian Indonesia timur, dangdut tidak begitu digemari. “Walaupun ada dangdut di Maluku, namun tidak begitu populer,” imbuhnya.
Antropolog UGM, Lono Simatupang, menuturkan ciri khas musik dangdut terletak pada ritmik, lirik, melodi serta cengkok suara sengau sang penyanyi. “Ada bagian menarik, kaitan cengkok dengan nuansa islami. Penyanyi lebih mudah beradaptasi dengan dangdut karena sedikit mirip teknik vokal seni baca Al-quran,” katanya.
Staf pengajar Prodi Kajian Budaya Media Sekolah Pascasarjana UGM, Faruk HT, mengatakan, dangdut selalu mengalami rezimentasi. Fenomena dangdut koplo saat ini muncul bukan karena jenis dangdut daerah. Melainkan konsep dangdut yang berbeda. Inilah yang ia sebut sebagai dangdut berkelit. “Bukan meliuk atau tidaknya sang penyanyi, bagaimana menjadi berbeda dan orang merasakan perbedaan itu,” katanya.
Hingga saat ini musik dangdut di Indonesia masih menuai pro kontra. Dangdut pun masih mengalami naik turunnya pamor yang menyesuaikan selera dan ketergantungan ide kreatif para seniman dangdut itu sendiri.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR