Bola plastik yang ditendang melambung itu memantul di dinding lorong sempit. Riuh jerit tawa anak-anak kampung pun membahana. Sesekali permainan itu terhenti sejenak karena ada pengendara sepeda motor yang melintas atau penjual daging babi yang lewat.
Sebuah potret makin terhimpitnya ruang bermain bagi anak-anak kota. Bermain bola saja sulit, bagaimana mungkin negeri ini mencetak pemain bola berbakat. Begitulah, pemandangan singkat suatu sore di Gang Taruna, sebuah lorong Jalan Pangeran Jayakarta di Jakarta Pusat, tak jauh dari kawasan pusat perbelanjaan Mangga Dua.
Pada Minggu lalu (22/4), lorong sempit itu dilewati para peziarah yang akan melakukan sembahyang Ceng Beng, sekaligus memperingati wafatnya seorang terhormat perintis budaya peranakan di Batavia, Souw Beng Kong. Dia adalah Kapitan Cina pertama di Batavia yang telah terbaring di bawah bongpai ―istilah untuk nisan Cina―sejak 1644.
Makam Souw Beng Kong tampak lebih lega dan bersih setelah sebuah yayasan yang menggunakan nama kapitan itu mengusahakan pembebasan lahan dan pemugaran pada 2008. Makam yang tadinya hanya satu meter persegi karena terhimpit permukiman, diperluas menjadi sekitar 170 meter persegi!
Sewindu lalu ketika saya berkunjung pertama kali, keadaannya sangat mengenaskan: terpuruk dalam kungkungan rumah-rumah dan tempat cuci piring menjadi hiasan altar makamnya. Terzalimi hati ini melihat ketakberadaban kala itu. Selama berpuluh-puluh tahun makam Beng Kong memang terbengkalai. Kebun kelapa tempatnya bersemayam pun kini telah berubah menjadi hutan beton.
Hendarmin Susilo, ketua Yayasan Souw Beng Kong yang sekaligus mengikhtiarkan pelaksanaan pemugaran makam ini mengungkapkan, “Dari tujuh makam di kebun itu hanya tersisa dua, lainnya milik seseorang bermarga Lie yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan.”
Semua warga di Gang Taruna mengetahui keberadaan makam kapitan itu, namun hampir semuanya tak tahu siapa sejatinya Beng Kong. Sumiyati yang tinggal di dekat makam itu sejak 1960 sampai sekarang tak tahu sosok yang bersemayam di depan rumahnya itu. “Ibu nggak tahu siapa dia, orang sini juga pada nggak tahu,” katanya.
“Di dekat sini dulu juga ada makam,” ungkap Sumiyati sambil menunjuk ke beberapa jengkal dari tempatnya berdiri , “Dulu ada batunya, tapi sudah ditimbun untuk rumah.”
Prasasti beraksara Cina menghiasi sisi tengah bongpai Beng Kong. Dua prasasti yang mengapitnya bertutur tentang kehidupan Beng Kong dalam dwi bahasa, Belanda dan Cina. Keduanya ditambahkan kemudian saat renovasi makam oleh Kong-Kuan (dewan perwakilan warga Cina di Batavia) atas prakarsa Mayor Cina Khouw Kim An pada 1929.
Tampaknya makam Beng Kong merupakan makam tertua di seantero Jakarta yang masih dapat kita kenali. Ingatan saya pun terpelanting jauh ke pembangunan Kota Batavia abad ke-17, sebuah kota yang dibangun di atas reruntuhan Keraton Jayakarta.
Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen menunjuk Souw Beng Kong sebagai kapitan pada 1619 untuk membangun tata kota baru. Sang Kapitan bertanggung jawab atas perdagangan dan perkembangan warga Cina di Batavia. Jadi meski berlabel kapitan, jabatan ini tidak berkait dengan fungsi militer. Beng Kong bertugas selama 17 tahun, dalam masa pemerintahan lima gubernur jenderal.
Seperti layaknya etnis Cina di Jakarta hari ini, kesibukan Beng Kong pun tidak jauh berbeda. Ia pemilik berbagai usaha seperti pembuatan mata uang koin tembaga, pemilik kapal, kontraktor, dan pengawas rumah perjudian dan rumah penimbangan. Salah satu buah karya Sang Kapitan pun masih bisa kita lihat hingga kini, yaitu bagian muara Ciliwung yang diluruskan menjadi Kali Besar untuk kelancaran lalu-lintas kapal.
Mona Lohanda, arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia dan pemerhati sejarah peranakan Cina, berpendapat bahwa Kota Batavia banyak berhutang kepada warga Cina pendatang pada masa awal pembangunannya. Mereka tidak hanya pedagang, tetapi juga artisan dan tukang. “Anda lihat interior Gedung Arsip Nasional yang didominasi warna keemasan dan merah, sekalipun hiasan bergaya barok", ungkap Lohanda. “Insinyur bangunan itu tentu saja orang Eropa dan biasanya VOC membuat kontrak dengan para aannemer (kontraktor) Cina itu, sangat rinci perjanjiannya.”
Boleh dikata, kemakmuran Batavia disumbang oleh warga Cina. Mereka membayar pajak kepala, sementara warga lainnya tidak. Belum lagi pajak-pajak lain yang dipungut oleh pachter (pemegang lisensi) orang Cina yang disetorkan kepada VOC untuk pembiayaan kota.
Namun, Lohanda juga mengingatkan perihal sumbangan untuk Batavia dari warga pribumi lain yang bekerja sebagai budak, serdadu, orang bebas. Juga para kapitannya ―seperti Kapitan Bali, Kapitan Melayu, Kapitan Ambon, Kapitan Bugis, Kapitan Makassar, Kapitan Jawa, dan Kapitan Sumbawa. “Tidak baik terlalu menonjolkan peranan warga Cina di sini, tetapi memang jelas, Batavia dan VOC berhutang banyak kepada mereka,” ungkap Lohanda.
Satu hal yang masih membuat saya takjub, dari 22 kapitan Cina di Batavia hanya Souw Beng Kong-lah yang masih tersisa makamnya. Andai makam kapitan itu ikut punah terlindas jantera zaman, tak ada lagi bukti awal peradaban masyarakat peranakan di Jakarta. Sampai saat ini makam tertua di Jakarta itu masih menanti perlindungan pemerintah dan warga dari aniaya kota yang dulu pernah ia rintis peradabannya.
Seperti harapan anak-anak Gang Taruna untuk menjadi pemain bola dengan segala keterbatasan sarana kota: Semua itu perlu kerja keras untuk mewujudkannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR