Perdagangan karbon (carbon trading) selama ini hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah, organisasi internasional, dan perusahaan. Sertifikat penurunan emisi dan peningkatan cadangan karbon adalah yang diperdagangkan di sini. Namun, tidak mudah meraihnya karena harus diperoleh melalui lembaga internasional yang sudah mengembangkan standard yang diakui secara internasional.
Selain itu, nilainya pun cukup mahal jika ditanggung oleh pihak individu. Padahal, menurut Arif Aliadi sebagai Direktur Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin), carbon trading tidak perlu serumit itu. Masyarakat petani hutan pun bisa turut andil dalam transaksi ini. Apalagi mereka sudah terbiasa merawat hutan dengan cara mencegah dan menangani kebakaran hutan serta rehabilitasi pepohonan.
"Menurunkan emisi dan peningkatan cadangan karbon sudah jadi bagian dari masyarakat. Tapi selama ini tidak dianggap sebagai carbon trading, tidak ada insentif untuk mereka," kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (22/5).
Latin mencoba menangani masalah ini dengan mendirikan proyek program perdagangan karbon oleh komunitas. Tujuannya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam mengurangi gas emisi. "Belum ada pengakuan masyarakat sebagai pelaku utama, sebagai inisiasi pelaku perdagangan."
Contoh peran masyarakat lokal terjadi di Koperasi Sedyo Makmur di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka mengelola hutan negara seluas 115 hektare dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM) dengan perhitungan cadangan karbon yaitu 3.603 ton.
Puji Rahardjo dari Java Learning Center (Javlec) menyatakan, jika harga per hektarenya bisa diperkirakan US$3 atau sekitar Rp28 ribu-an. Dengan demikian, masyarakat anggota Koperasi Sedyo Makmur sebanyak 254 KK bisa mendapat insentif sebesar Rp300 juta-an.
"Petani hutan yang terlibat bisa mendapat keringanan Puskesmas, kemudahan akses pendidikan untuk anak-anak, dan diskon di warung khusus untuk sembako," kata Puji.
Sayangnya hingga sekarang, belum ada pihak yang bersedia membeli cadangan karbon dari Koperasi Sedyo Makmur. Sebab, dari 15 metodelogi perhitungan carbon trading, belum ada satu pun yang bisa digunakan menghitung apa yang dimiliki masyarakat Gunung Kidul ini.
"Metodelogi yang standar agak sulit dipenuhi masyarakat (Gunung Kidul) karena kebutuhannya masih standar internasional," kata Puji yang menambahkan jika perusahaan BUMN bisa jadi alternatif pembeli sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR