Karya sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dengan pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga menjadi bagian penyampaian kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan kebudayaan.
Inilah yang tercermin dalam La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis.
“Sastra La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai sastra tapi juga sebagai sarana Islamisasi bagi orang Bugis,” kata Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin Andi Muhammad Akhmar, dalam ujian terbuka promosi doktornya dengan judul "Islamisasi Bugis" di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (6/6).
Dirinya menjelaskan, islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik.
Sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). “Orang Bugis biasa menyebutnya Dewata Sisinae.Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata Seuwae ini dapat dilihat pada masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang,” kata Akhmar.
Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi seiiring masuknya islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae dengan konsep Allah Subhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.
Pengucapan doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. “Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis,” ungkapnya.
Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tidak boleh dibaca tanpa didahului sebuah ritual tertentu seperti menyembelih sapi. Umumnya naskahnya dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan, atau doa tolak bencana.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR