Perubahan iklim, khususnya pemanasan global merupakan fenomena alam yang sangat mengerikan bagi sejumlah negara-negara di dunia. Khususnya negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam. Tetapi, dari sebuah studi yang digelar oleh sekelompok peneliti dari Stanford University, Purdue University dan World Bank, terungkap bahwa ada negara yang justru akan mendapatkan keuntungan dari perubahan iklim tersebut.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Review of Development Economics itu menunjukkan, Tanzania memiliki potensi untuk meningkatkan ekspor jagung mereka secara signifikan. Negara di timur Afrika ini akan menikmati keuntungan dari tingginya harga komoditas tersebut karena hadirnya cuaca panas dan kering yang diperkirakan akan menghantam negara-negara penghasil jagung lainnya.
Di saat negara-negara konsumen jagung utama dunia seperti Amerika Serikat, China, dan India diperkirakan akan mengalami kondisi kekeringan yang parah, cuaca di kawasan Tanzania diperkirakan akan basah. Meski begitu, diperkirakan tetap ada beberapa tahun di abad ini di mana negeri itu juga akan mengalami kekeringan. Kondisi di mana mereka terpaksa mengimpor jagung dari negara lain yang sedang mengalami cuaca baik.
“Penelitian ini menegaskan bagaimana kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi dampak yang akan kita alami dari perubahan iklim,” kata Noah Diffenbaugh, asisten profesor ilmu bumi dari School of Earth Sciences, Stanford University, yang terlibat dalam penelitian.
“Tanzania merupakan kasus yang menarik karena ia memiliki potensi meraih keuntungan dari perubahan iklim jika perkiraan akan menurunnya kekeringan di Afrika Timur terbukti benar dan kebijakan perdagangan disusun untuk memanfaatkan peluang baru tersebut,” ucapnya.
Penelitian menggunakan data agrikultur, iklim, ekonomi, dan model komputasional paling detail yang pernah dibuat tersebut, memprediksi akan hadirnya kekeringan parah dalam sembilan dekade ke depan di Tanzania dan negara-negara mitra utama mereka.
Peneliti memulai studinya dengan menganalisa catatan sejarah di mana Tanzania mengalami surplus atau defisit. Dari data, peneliti mendapati bahwa kebijakan perdagangan tertutup meningkatkan kemiskinan akibat ketidakmampuan menangani impor di saat musim kering dan membatasi keuntungan yang seharusnya bisa didapat di tahun-tahun surplus.
Peneliti kemudian coba memprediksi seberapa sering Tanzania dan negara-negara mitra utama mereka mengalami tahun-tahun kering buruk akibat pemanasan global. Hasilnya, rata-rata, 96 persen waktu di saat Amerika Serikat dan China mengalami kekeringan parah, Tanzania tidak akan mengalami hal serupa.
Untuk India, persentasenya mencapai 97 persen. Justru, saat negara-negara tersebut mengalami kekeringan buruk, Tanzania akan mengalami musim yang lembab dan nyaman.
Temuan ini juga berlaku bagi negara-negara lain di seluruh dunia yang menghasilkan gandum. Negara-negara tersebut bisa meraih untung dari ekspor pada tahun-tahun di mana mitra perdagangan mereka mengalami cuaca panas dan atau kering yang parah.
Di sisi lain, mereka juga bisa menjaga stok gandum saat cuaca memburuk dengan melakukan impor dari negara-negara kaya gandum yang tidak terlalu terkena dampak cuaca tersebut di tahun-tahun yang bersangkutan. “Studi ini menegaskan pentingnya strategi perdagangan untuk mengatasi efek iklim bagi negara-negara yang bersangkutan,” kata Diffenbaugh.
“Kami melihat bahwa efek ini sudah mulai terjadi di kondisi iklim saat ini dan itu akan menjadi lebih penting ke depannya di saat hadirnya tahun-tahun baik dan buruk di berbagai negara sebagai dampak dari pemanasan global,” ucapnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR