Nationalgeographic.co.id—Afro-Bolivia adalah salah satu kerajaan yang diakui pemerintahan Bolivia, dan masih eksis sampai hari ini. Menariknya, Kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup tua, dengan dominasi bangsa Afrika di dalamnya. Lantas, bagaimana bangsa Afrika bisa sampai ke Bolivia?
Kerajaan Afro-Bolivia diperkirakan terbentuk dari migrasi bangsa Afrika Kuno yang dijadikan budak di kawasan Yungas & La Paz, Bolivia, Amerika Selatan. Penduduknya didominasi oleh orang-orang Afrika dan keturunan Aymara (suku Indian yang umum di wilayah Bolivia, Peru & Chile).
Afro-Bolivia menempati wilayah tertinggi di Bolivia, para peneliti cukup kesulitan untuk dapat mencapai kesana. Dilansir dari tulisan Jacobo Pardo-Seco dan timnya yang dimuat dalam jurnal BMC Genomics, berjudul Mapping the genomic mosaic of two ‘Afro-Bolivians’ from the isolated Yungas valleys pada tahun 2016.
"Kurang lebihnya terdapat 1.500-3.000 budak berasal dari Angola (Afrika) di datangkan ke Peru dan Bolivia". Hal tersebut terjadi kurang lebih pada pertengahan abad ke-19. "Kemudian, pada 1803, tentara Spanyol membawa para budak tawanan ke Potosí (kota di Bolivia) untuk dipekerjakan dan dipaksa menggarap ladang" tambahnya.
Reformasi agraria di Bolivia yang terjadi pada 1953, mengakhiri era perbudakan. Para budak Afrika kemudian bermigrasi dalam jumlah besar ke wilayah Yungas, sebagian lagi ke kota La Paz dan Santa Cruz. Mereka yang tinggal menetap di Bolivia, kemudian mengadopsi bahasa dan dialek Spanyol, menjadi sebuah kebudayaan khas. Sebagaimana keahliannya, masyarakat Afro-Bolivia hidup sederhana dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani. Kopi menjadi komoditas utama dari hasil ladangnya.
Bangsa Afro-Bolivia yang telah menetap lama di Yungas dan La Paz, melestarikan kebudayaannya sendiri. Sara Busdiecker menulis dalam jurnal Radical History Review yang berjudul Where Blackness Resides: Afro-Bolivians and the Spatializing and Racializing of the African Diaspora tahun 2009 tentang budaya masyarakat Afro-Bolivia.
Baca Juga: Tak Punya Garis Pantai, Angkatan Laut Bolivia Dilarang Sentuh Perairan
"Saat kunjungan ke wilayah Yungas & La Paz, saya mengundang orang-orang Afro-Bolivia, dan mereka menampilkan tarian khas diiringi dengan musik" ungkap Juan Evo Morales, mantan Presiden Bolivia kepada Busdiecker. Mereka telah melestarikan Morenada (tarian Afro-Bolivia) yang kemudian disahkan oleh Morales sebagai salah satu tarian daerah resmi di Bolivia pada 2011 lalu.
Sebelumnya, masyarakat Afro-Bolivia selalu terpinggirkan dan dikucilkan oleh pemerintah. Mereka tak mendapatkan hak pasokan air bersih dan bahan makanan yang cukup, akses jalan yang sulit ditempuh, serta belum adanya listrik menambah pilu kisah masyarakat minoritas tersebut.
Pada 2005 silam, terpilihnya Morales sebagai presiden menjadi kabar bahagia. Morales pernah berjanji akan mengangkat hak dan martabat masyarakat Bolivia yang merasa terkucilkan dan terdiskriminasi, tak terkecuali Afro-Bolivia. Hal tersebut terbukti dengan tindakan-tindakan terpujinya terhadap mereka.
Baca Juga: Sains Terbaru, Rahasia Umur Panjang Masyarakat Pedalaman Bolivia
Afro-Bolivia dianggap sebagai kerajaan terakhir yang masih eksis di seluruh Benua Amerika. Mereka menunjuk satu raja bernama Julio Pinedo. "Evo Morales telah meresmikan Kerajaan yang legal di Bolivia sejak 2007 silam, 36 orang (termasuk Afro-Bolivia) memilih Pinedo sebagai raja", tulis Jordi Busqué kepada BBC dengan judul For hundreds of years, the tiny Kingdom of the Afro-Bolivians lay hidden from the outside world pada 11 Maret 2021.
"Pinedo bukanlah raja seperti yang dibayangkan di Eropa, Ia tak memungut pajak, Ia hanya menjadi penengah disaat terjadi konflik, dan bertanggung jawab atas keberlangsungan bersama" tambahnya. Peran raja sama seperti peran kepala suku. "Terpilihnya Pinedo, karena Ia dipercaya sebagai keturunan Uchicho (Raja Kerajaan Kongo) dari bekas luka di tubuhnya" tutup Busqué.
Baca Juga: Para Arkeolog Temukan Makam Suku Asli Bolivia, Seperti Apakah?
Source | : | google scholar |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR