13 tahun lalu, Baihajar Tualeka percaya bahwa saat menghadap Tuhan, ia akan masuk surga. Pada saat itu, aktivitas yang ia lakukan terbilang ekstrem; membuat bom molotov dan ketapel yang digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok agama lain.
Pada era tersebut, Ambon layaknya neraka, terbakar perseteruan. Konflik horizontal antar agama menyulut kota indah penuh pesona itu menjadi arena konflik yang menakutkan. Perempuan kelahiran 1974 itu terlibat.
Namun, perlahan-lahan sudut pandangnya dalam melihat konflik itu bergeser. Puncaknya, Bai – panggilan akrabnya – menyaksikan dengan mata telanjang seorang pria dipotong-potong dengan sadis. Suara hatinya mulai menyeruak. Akhirnya, Bai memilih untuk memenangkan sisi kemanusiaannya yang tumbuh perlahan.
Bersama dengan beberapa rekannya, ia mendirikan LAPPAN, sebuah upaya kolektif yang punya misi mulia: mewadahi layanan pendidikan dan diskusi lintas agama antar Muslim dan Kristen di tanah Ambon.
Pergerakan Bai semakin signifikan. Ia melakukan reparasi untuk korban konflik, dan memberikan edukasi kepada masyarakat setempat. Ia juga menumbuhkan semangat cinta damai dalam bentuk penamaan lokasi dengan semangat positif. Misal, Gang Anti Kekerasan, Gang Kebangkitan, dan seterusnya. Kontribusi ini jelas memberikan makna yang penting bagi perdamaian antaragama.
Atas jerih payahnya, pada Rabu (7/11) bertempat di Palalada Grand Indonesia, Jakarta, Bai menjadi pemenang Anugerah Saparinah Sadli 2012. Anugerah yang diadakan setiap dua tahun ini memang sengaja ditujukan kepada sosok-sosok perempuan inspiratif yang memperjuangkan keadilan.
Anugerah yang sudah dihelat sejak 2004 mengadopsi nama Saparinah Sadli sebagai tokoh perempuan dengan pribadi unggul, kreatif, dan punya kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat. Bersama dengan Bai, dua orang perempuan lainnya juga masuk menjadi kandidat penghargaan ini. Maulani Rotinsulu yang aktif di dalam dunia disabilitas wanita dan Merlyn Sopjan, perempuan pegiat bidang keadilan gender dan HAM.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR