Ular piton burma, udang harimau, dan kodok bullfrogs, menjadi permasalahan ketika berada di luar habitat aslinya. Fauna ini akhirnya berstatus invasif dan harus dikeluarkan dari habitat barunya.
Ular piton burma (Python molurus bivittatus) misalnya. Spesies yang bisa mencapai panjang 5,74 meter ini diimpor dari Asia Tenggara tapi akhirnya dibuang ke Everglades, Florida, AS, oleh para pemilik yang takut dengan kebesaran sang ular.
Saat ini, jumlahnya mencapai 150.000 individu dan memakan apa pun yang ada di Everglades, mulai dari buaya hingga burung-burung kecil. Bagaimana cara pemerintah setempat memusnahkannya?
Dengan menggelar lomba berburu bertitel "Python Challenge" yang diikuti 800 peserta. Instruksinya mudah: minum air sebanyak mungkin, gunakan tabir surya, jangan tergigit oleh apa pun, dan jangan menembak siapa pun.
Udang harimau (Penaeus monodon) yang menjadi fauna invasif di timur laut Amerika Utara, dijadikan menu di restoran-restoran setempat. Selain berhasil sebagai usaha menyingkirkan fauna yang tidak menguntungkan, udang tersebut juga berhasil menjadi makanan potensial.
Sedangkan bullfrog amerika (Rana catesbeiana) yang biasa hidup di AS dan Kanada, tersingkir dengan sendirinya dari Pegunungan Baja California, Meksiko. Dalam Journal of Arid Environments yang terbit pada 2010, kodok ini disebut tidak bisa beradaptasi dengan banjir yang terjadi secara periodik di lokasi tersebut.
Di Indonesia juga terjadi fenomena makhluk hidup invasif di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Pulau Sumatra. Terjadi perambahan mikrologis oleh mantangan (Merremia sp).
Tumbuhan asli ini jadi invasif karena penebangan pepohonan besar membuka kanopi yang sebelumnya menghalangi sinar matahari. Dari sekitar 365 ribu hektar luas TNBBS, sekitar sepuluh ribu hektarenya tertutup matangan.
Pertumbuhan tanaman ini bisa mencapai satu hingga dua sentimeter per hari. Tanaman merambat itu membentuk jalinan suluran dahan yang menghambat lalu lalang harimau, badak, dan gajah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR