Terdorong oleh tingginya permintaan tuna dan mandeknya keterampilan, nelayan di perairan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menggunakan bom ikan. Tanpa memedulikan ekses lingkungan dan keselamatan jiwa, nelayan-nelayan ini meledakkan tujuh hingga sepuluh botol bom per trip pada saat peak season di bulan Agustus - November.
Dalam satu bulan, mereka bisa melakukan delapan hingga 15 trip. Jika diakumulasi, maka kira-kira dalam satu kali trip, para nelayan ini meledakkan lebih dari 100 bom ikan. Kondisi ini terjadi di perairan Pulau Tiga, Selat Solor, Pulau Solor bagian selatan, Selat Lamakera, dan Lembata bagian selatan.
"Seperti medan perang," demikian komentar warga sekitar desa Flores Timur kepada Dwi Ariyogagautama, Fisheries Senior Officer dari WWF Indonesia di NTT.
Dwi merupakan penulis laporan Potret Pemboman Ikan Tuna di Perairan Kabupaten Flores Timur. Dalam pengumpulan data, Dwi mempelajari bahwa nelayan setempat mengindentifikasi adanya tuna dari kumpulan lumba-lumba di permukaan.
"Bomnya dilempar ke sekitar lumba-lumba. Maka lumba-lumbanya jadi korban, sedangkan tuna yang bisa diambil hanya setengahnya karena yang setengah lagi sudah keburu tenggelam," cerita Dwi dalam jumpa pers, Kamis (14/3), di Jakarta.
Dalam satu kapal nelayan, terdapat lima hingga sepuluh nelayan. Di mana tiga hingga delapan orang di antaranya adalah penyelam yang bertugas mengumpulkan tuna korban ledakan.
Dengan keuntungan yang mencapai Rp850 jutaan sampai Rp3 miliar, para nelayan ini mengorbankan banyak hal. Dimulai dari nyawa, karena ditemukan lima orang meninggal dunia dan dua orang lagi cacat seumur hidup.
Dampak berikutnya adalah biota laut seperti lumba-lumba ikut jadi korban. Terfatal, jatuhnya kredibilitas perikanan Indonesia. "Bom ikan ini dimulai pada tahun 1996, sempat terhenti tahun 1998. Tapi akhirnya mulai lagi pada 2004 dan berlangsung hingga sekarang," ujar Dwi.
Wawan Ridwan, Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, menyatakan, para praktek penangkapan ikan seperti ini harus dihentikan. Meski sulit, penegakan hukum dan pengawasan menjadi upaya penting yang harus segera dilakukan.
"Tak kalah pentingnya adalah upaya dari para pemasok untuk memastikan bahwa produk yang mereka terima adalah produk yang ramah lingkungan," kata Wawan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR