Dokumentasi sempurna mengenai seni budaya suatu wilayah harus diusahakan dari riset mendalam dan pengetahuan ekstensif. Inilah yang dilakukan 20 kontributor yang merupakan peneliti dari sepuluh negara berbeda ketika melahirkan buku Plaited Arts form the Borneo Rainforest.
Buku ini sebagai buah riset selama dua dekade dengan kumpulan 1.250 ilustrasi dan foto berwarna mengenai seni anyam Borneo. Dikatakan Wiediantoro, kurator dari Bentara Budaya Jakarta (BBJ), buku ini semacam dokumentasi seni rupa Indonesia yang ada di Kalimantan.
"Buku ini dikerjakan selama 20 tahun, lha ditakutkan anyaman yang ada di dalamnya kini sudah tidak ditemukan lagi," kata Wiediantoro dalam jumpa pers yang digelar di BBJ, Jumat (23/3).
Peluncuran buku Plaited Arts form the Borneo Rainforest dilakukan bersamaan dengan pameran seni dan budaya bertema "Seni Anyam: Adi Kriya Kalimantan." Eksibisi ini dihelat mulai 27 Maret hingga 7 April 2013 di BBJ. Hanya pada 29 Maret saja pameran diliburkan karena hari raya besar.
Setiap harinya akan ada workshop mengenai budaya Kalimantan --pulau berjuluk Seribu Sungai. Kemudian ditutup dengan pesta dayak di hari terakhir penyelenggaraan.
Anyaman Kalimantan sengaja dipilih karena kondisinya yang kini kritis. Tiap anyaman --tudung, tikar, bakul-- dihasilkan dalam waktu lama dengan proses rumit. Kini, kehadiran seni kriya itu tergantikan oleh produk plastik yang lebih ringkas dan tahan lama.
John McGlynn, salah satu anggota dewan Yayasan Lontar, organisasi independen yang bertujuan mempromosikan sastra dan budaya Indonesia, menyatakan, suatu bangsa bisa disalahkan jika ada kebudayaannya yang pudar. "Kebudayaan itu ciri khas bangsa," tegas McGlynn.
Penerbitan Plaited Arts form the Borneo Rainforest juga turut didukung Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari. Menurut Eddy Mulyadi sebagai Ketua yayasan ini, buku tersebut menjadi harapan melestarikan kembali anyaman yang hampir punah.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR