Saya hanya bisa menatap ketika beberapa percik air bukan saja jatuh lengan baju dan meja, tapi juga ke Gai Yang (ayam goreng bumbu ketumbar, sereh, pandan) yang sedang enak-enaknya saya santap. Beberapa percik juga pasti jatuh ke gelas berisi Thai Tea, teh tarik (teh campur susu).
Saya tahu pelakunya. Bapak setengah baya di meja seberang, yang menyembunyikan senapan di bawah meja, dan sesekali menembakkan ke segala arah bila pengunjung lain sedang lengah. Seharusnya perang air hanya di lapangan rumput sebelah. Tapi pengunjung yang kian banyak dan antusias sengaja melupakan aturan dan larut dalam Songkran Festival.
Tiada yang keberatan untuk basah di acara yang digelar Thailand Tourism Board di Sriwedari Garden, Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu, (6/4) lalu mulai pukul 10:00 – 17:00. Ini acara untuk memperkenalkan kembali Songkran Festival, perayaan tahun baru Thai yang jatuh pada hari terhangat di awal musim kemarau, 13 – 15 April.
Songkran berasal dari bahasa Sansekerta bermakna Matahari. Sesuai tradisi, awalnya warga akan datang ke kuil-kuil, menyiramkan air ke satu sama lain sebagai tanda permohonan keberuntungan di tahun mendatang.
Lama-kelamaan, Songkran menjadi pesta semua orang termasuk wisatawan. Inilah hari ketika semua orang, bahkan yang sudah dewasa untuk merasakan kembali kegembiraan masa kanak-kanak : bermain air, menyiram dan disiram, hanya ada tawa gembira!
Di kota bersejarah Sukhothai, Songkran dirayakan lebih tradisional. Hampir semua warga berpakaian tradisional Thailand berkumpul di Kuil Traphang Thong di muka Taman Sejarah Sukhothai. Ada arakan budaya kuno, lomba membangun pagoda, dan gelar pasar tradisional.
Perayaan tiga hari diawali Mahasongkran’ pada 13 April. Menandai berakhirnya tahun lama, disusul 14 April berupa Wan Nao (jelang pergantian tahun), dan 15 April, Wan Thaloeng Sok, tahun baru. “Suk-san wan songkran” ucapan “Selamat Hari Songkran" pun berpercikan.
Saya bersiap balas dendam. Setelah hidangan tandas, saya siapkan pistol air saya. Serang…!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR