Tumbuhan cilantro (Coriandrum sativum) bisa membuat orang berselisih. Sejenis rempah yang tampaknya tak berbahaya yang biasa hadir dalam santapan Meksiko, Amerika Latin, India, Timur Tengah, dan kawasan Asia ini telah lama menjadi topik dalam berita dan blog-blog.
Para penggemar cilantro menyukai aroma dan rasa tanaman sejenis ketumbar ini yang mirip jeruk; adapun para pembenci mengatakan bahwa bahkan hanya setangkai kecil saja, bau cilantro sudah menyengat seperti sabun. Di sisi mana pun Anda berpihak, solidaritas berlimpah ruah.
Tak berhenti di situ saja, debat terkait cilantro bukan hanya sekadar masalah rasa. Menurut Charles Wysocki dari Monell Chemical Sence Center, Philadelphia, Amerika Serikat, sebenarnya perdebatan itu lebih mengenai aroma, yang diterima otak berdasarkan pada kombinasi kompleks dari rasa, bau, panas, tekstur.
Dalam kasus cilantro, Wysocki punya intuisi kuat bahwa gen juga turut menentukan. Pasalnya, dari penelitian yang terus berlangsung pada anak kembar, telah terbukti bahwa anak kembar identik lebih sering memiliki reaksi yang sama daripada kembar non identik.
Meski soal genetik ini belum dapat dibuktikan, ada satu hal yang pasti: di California, tempat pencatatan dilakukan setiap tahun, produksi cilantro telah meningkat dua kali lipat selama satu dekade terakhir. Gary Lucier, seorang ekonom pertanian mengatakan bahwa warga AS telah memakan rata-rata setidaknya 150 gram cilantro dalam satu tahun. Jumlah ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya jenis santapan yang semakin beragam di pasaran.
Cilantro, seperti halnya spesies lain sejenisnya, mengandung antioksidan yang bisa menunda atau mencegah pembusukan makanan yang ditaburi bumbu ini. Dari sebuah studi yang dilakukan, baik daun maupun biji buah ini memang mengandung antioksidan, namun pada daun, efeknya jauh lebih kuat.
Tanaman ini juga tercatat telah menjadi obat tradisional untuk mengatasi diabetes mellitus tipe 2 atau yang sebelumnya dikenal dengan Noninsulin-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Namun bagi sebagian orang, cilantro bisa memicu alergi.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR