Teknik penyiksaan waterboarding mengemuka pada tahun 2006 hingga 2009 lalu. Penyiksaan yang dianggap tidak manusiawi ini membuat korbannya mengalami shock, seperti sensasi tenggelam, dan bisa menyebabkan kematian.
Jika dibandingkan dengan cara penganiayaan lain, waterboarding termasuk sederhana. Hanya dengan mengikat korban, menutup wajahnya dengan kain, lalu siram dengan air mengalir terus-menerus, akan berefek kurangnya pasokan oksigen. Air akan menghalangi udara yang diisap korban, merusak paru-paru, dan otak. Selanjutnya korban akan mengalami shock dan bisa mengakibatkan kematian.
Waterboarding pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Spanyol. Kala itu, penyiksaan ini digunakan Raja Fedinand dan Ratu Isabella untuk membuat rakyatnya patuh menjalankan Dekrit Alhambra pada tahun 1400-an.
Indonesia, di bawah masa penjajahan Belanda, ternyata pernah menjadi saksi getirnya siksaan ini. Tepatnya pada tahun 1600-an ketika Belanda menyiksa tawanan bangsa Inggris di Maluku.
Disebutkan dalam A true relation of the vniust, cruell, and barbarous proceedings against the English at Amboyna in the East-Indies, Belanda menggunakan baju yang dililitkan di wajah tawanannya. Kemudian, secara perlahan, algojo menuangkan air di bagian atas wajah korban.
Baju tersebut akan dipenuhi air hingga ke bagian wajah dan mulut. Membuat korbannya, mau tidak mau, mengisap semua air tersebut ketika gelagapan mencari udara. Penyiksaan ini membuat tubuh korban menjadi dua atau tiga kali lebih besar. Dalam kata lain, membengkak. Taktik ini diteruskan hingga Perang Dunia II, Perang Vietnam, dan Kamboja.
Pascaserangan 9/11, waterboarding terkuak kembali. Secara sembunyi-sembunyi, Badan Intelejen Amerika (CIA) mengadopsi cara ini untuk mengorek keterangan dari para tawanan. Militer AS menghentikan penyiksaan ini tahun 2006 ketika dinyatakan ilegal oleh Departemen Pertahanan AS.
Namun, CIA yang bukan bagian dari militer AS, baru menghentikannya pada 2009. Setelah ada perintah langsung dari Presiden Barack Obama.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR