Hampir semua anak di posko pengungsi Kampung Bah, Ketol, Aceh Tengah, yang saya kunjungi siang itu, Kamis (11/7), mengunyah tebu.
Kunyahan demi kunyahan, air tebu yang manis pun mengalir meredakan dahaga di kerongkongan. Yang terjadi yaitu tidak ada air sama sekali di pengungsian tempat mereka tinggal, kecuali sebuah drum air dari Kementerian PU (Pekerjaan Umum). Namun di dalamnya juga tidak banyak air, kurang dari setengah bagian yang terisi.
Sanitasi juga buruk. Lingkungan terlihat kotor, dan saya diceritakan bahwa sudah beberapa hari warga tidak dapat mandi. Mereka sangat kekurangan air bersih untuk minum dan MCK. Kebetulan lokasi posko Kampung Bah berada tepat di seberang kebun-kebun tebu, sehingga warga berinisiatif memetikkan tebu bagi anak-anaknya. Bongkah tebu itu diiris, dan seratnya yang berair dikunyah.
Kecamatan Ketol adalah daerah yang dikenal penghasil tebu—yang terbesar di Aceh Tengah. Kabupaten Aceh Tengah ini sendiri memiliki potensi tebu cukup tinggi. Berdasarkan data Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM, produksi mencapai14.464 ton pada 2010.
Mayoritas pendapatan penduduk Ketol dari bertani tebu. Sepanjang dalam perjalanan, saya amati kiri kanan jalan ada perkebunan tebu yang mengapit. Setelah gempa 6,2 SR; panenan tebu terhambat, pabrik pengolahan terhenti. Saya tiba di satu pabrik pengolahan tebu di mana terdapat sejumlah orang pekerja.
"Ya, di sini satu-satunya pabrik yang sudah mulai lagi. Pabrik lain masih tutup," ujar M. Arrafah (48), salah seorang pekerja yang ditemui beberapa waktu lalu.
Pabrik tidak beraktivitas sampai seminggu lebih karena sebagian besar pekerja juga menjadi korban gempa. Atau bila pabrik itu sendiri ikut hancur. Ditambah mesin-mesin di banyak pabrik rusak.
Ketika dijumpai, Arrafah dan Aan (18), seorang pekerja lainnya, tengah memasak tebu-tebu yang tersisa. "Pascagempa, tersisa tanaman tebu-tebu yang kering di pabrik ini. Sebab sudah terlambat diproses," ungkapnya.
Arrafah tersenyum ketika saya bertanya berapa rupiah kira-kira kerugian akibat gempa. "Tidak bisa dikatakan," jawabnya.
Ia menjelaskan, bila tebu kering, berimbas pula pada air tebu dan gula yang dihasilkan. Gula jadi lebih pekat (kental), teksturnya tidak sehalus dan sebaik tebu yang baru panen. Serta rasa manisnya tidak seprima manis tebu yang masih baru. Gula tebu yang telah dimasak dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kecap dan gula pasir.
Meski demikian, ia tetap mensyukuri pabriknya tersebut bisa berjalan kembali sedangkan pabrik-pabrik lain masih tutup. "Lumayan lah, pabrik kami ini tidak [rusak] parah. Kita sudah bisa mengolah kembali, walau aktivitas belum normal. Rumah itu juga tidak roboh," ujarnya, menunjuk ke arah rumah papan di sisi pabrik—bangunan tempat ekstraksi potongan-potongan batang tebu menjadi nira (air perasan tebu).
Baca: Rumah Beton Lantak, Rumah Papan Bertahan
Berbeda dengan gempa tsunami tahun 2004 yang mengakibatkan guncangan hebat, gempa Aceh ini sifatnya hentakan (atas ke bawah) keras dari dalam tanah bumi. Keluarga Arrafah termasuk satu dari warga kampung yang selamat dari bencana gempa.
"Rumah saya pun tak runtuh, hanya sedikit rusak. Tapi jujur saja saya takut juga sewaktu-waktu bisa gempa susulan," tuturnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR