“Daerah ini tidak pernah terlelap. Buktikan saja,” kata seorang teman yang mengantarkan saya ke Changkat Bungkit Bintang. Malam itu, penglihatan saya didominasi warna kuning temaram yang diwakili oleh lampu kota, sementara telinga diserbu suara hiruk-pikuk manusia di salah satu daerah paling gempita di Kuala Lumpur, Malaysia.
Saya melirik jam yang menunjukkan pukul 00.13 pagi dan situasi di hadapan saya sama sekali tidak menunjukkan bahwa saat itu sudah melewati tengah malam. Sambil menyusup di antara hingar bingar suasana, saya memulai petualangan kecil sekitar Changkat Bukit Bintang, berawal di (1) Jalan Alor. Luar biasa, di sini Anda akan menemukan deretan penjual makanan kaki-lima, dengan jenis bervariasi.
Saya coba menyisir apakah ada suguhan kuliner yang menarik hati. Setelah menelusuri jalanan sekitar 50 meter, saya putuskan menghampiri salah satu mamak (istilah untuk kedai makanan), memesan seporsi nasi Briyani dan teh tarik hangat. Setelah perut penuh terisi, saya melanjutkan perjalanan.
Baru beberapa langkah, mata tertuju pada neon-box kuning yang terpampang di (2) Comfort Lodge. Penginapan yang ramah di saku ini menawari Anda kenyamanan unik sekaligus lokasi asyik. Terletak di jantung destinasi pariwisata Kuala Lumpur, Comfort Lodge memiliki 22 kamar dengan fasilitas air panas, koneksi wi-fi dan ruang tamu nyaman serta lega.
Tepat di hadapan Comfort Lodge, terdapat (3) SK Corner, resto 24 jam yang menyediakan berbagai makanan lokal Malaysia. Coba pesan Nan Bread dipadu dengan Goat Milk, paduan cocok mengganjal perut di pagi buta.
Saya kembali mengayunkan langkah dan berusaha menelusuri asal-usul keramaian yang terjadi malam itu. Sampailah ke jalanan Changkat yang pendek namun sangat ramai. Salah satu penyebab keramaian adalah (4) The Green Man. British Pub yang namanya diadopsi dari legenda lokal Inggris, yang konon mendatangkan keuntungan.
Merujuk latar belakang nama itu, Anda bisa mengadu peruntungan setiap Kamis malam, saat digelar Quiz Nite. Hanya mengeluarkan sekitar RM15 (atau setara Rp50.000), Anda punya kesempatan membawa pulang berbagai hadiah yang menggiurkan.
Tidak jauh dari The Green Man, ada kombinasi warna merah-kuning-hijau yang dominan di (5) Reggae Bar. Nuansa Jamaican diracik dengan eksentrik di tempat ini. Atmosfernya membuat Anda merasa tengah berada di sebuah pondok kayu pinggir pantai sekaligus lantai dansa.
Berbeda dengan Reggae Bar yang heboh dengan ornamen-ornamen Jamaican-nya, (6) Frangipani menawarkan konsep art dining elegan. Didukung desain bangunan art-deco yang minimalis, Frangipani merupakan salah satu pilihan terbaik menikmati French culinary.
Sedikit memutar dari jalan utama, saya menapaki Jalan Mesui dan menemukan nada yang sedikit berbeda dari irama lantai dansa. Kali ini yang tersangkut di telinga saya adalah nada-nada staccato dan permainan jemari lincah di atas piano dari (7) No Black Tie, satu-satunya klub Jazz di daerah ini. Berdiri 1998, No Black Tie (NBT) dibangun oleh Evelyn Hii, seorang pianis berdarah Sarawak.
Saat hari semakin larut dan kaki ini mulai terasa pegal, akhirnya saya di penghujung Jalan Mesui saya menemukan (8) Rainforest Bed and Breakfast. Budget hotel ini memiliki desain yang sangat menarik, mengedepankan nuansa kayu yang simpel dan lain dari yang lain. Memasuki hotel ini serasa ada di hutan yang nyaman dan membuat betah.
Saya disambut oleh staf yang ramah dan informatif. Setelah check-in dan mengobrol dengan petugas front desk, dia menyarankan saya untuk mencoba bersantap di (9) Nagasari Curry House. Resto ini juga terletak tidak jauh dari Rainforest. Terletak di Jalan Nagasari, restoran Kari ini terbilang legendaris, karena banyak mendapatkan ulasan baik dari media, dan diperhitungkan sebagai salah satu lokasi kuliner yang wajib disambangi di Kuala Lumpur.
Akhirnya setelah puas menapaki gemerlap kehidupan sekitar Changkat - Bukit Bintang, saya memutuskan untuk menutup hari di hotel Rainforest. Benar rupanya yang dikatakan teman saya, Changkat tidak pernah terlelap, dan selalu menawarkan keriaan tersendiri tiap malamnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR