Pada tahun 1880-an, adalah hal langka untuk perempuan, bahkan dari Eropa sekali pun, untuk menjelajah ke wilayah terpencil. Namun, Anna Forbes, istri dari naturalis Henry O Forbes, meretasnya dengan melancong ke Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda.
Anna menuliskan kisah perjalanannya dalam Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s yang terbit pada 1887. Petualangan dimulai di Batavia (sekarang Jakarta) setelah berlayar selama 41 hari dari Inggris kala awal 1880-an.
Ia menginap di Hotel der Nederlanden dan nyaris mempermalukan diri saat hendak mandi pagi. Anna, yang belum pernah mengetahui mandi cara guyur orang Asia, harus diajarkan lebih dulu oleh seorang perempuan asing yang sudah pernah tinggal di Batavia.
"Dia menjelaskan padaku bagaimana cara mandi orang Timur dengan menumpahkan air di atas kepala," ujar Anna. Jika tidak ada si rekan asing, Anna mengaku bingung bagaimana cara menceburkan diri ke dalam tong besar di dalam kamar mandi.
Petualangan perempuan ini kemudian berlanjut saat makan pagi. Jenis makanan yang dicirikan dalam tulisannya adalah gado-gado. Hanya saja ia tak berani menyantapnya dan lebih memilih nasi.
Terus melaju, Anna menuju ke bagian timur Indonesia dengan lebih dulu menginjak Buitenzorg (sekarang Bogor). Menuju ke Semarang, Surabaya, hingga ke Makassar. Malang baginya, di kota terakhir yang disebut, perempuan pemberani ini terserang demam.
"Aku mengalami sentuhan pertama demam tepat setelah meninggalkan Makassar. Mungkin aku terlalu lama bermain di bawah matahari," keluhnya.
Meski demikian, Anna tak menghentikan langkahnya menjelajah Nusantara. Kembali ia teruskan pelancongan ke Banda, Amboina (Ambon), hingga Papua. Cantiknya alam laut Ambon membuat Anna kehabisan kata.
Dalam tulisannya tertanggal 15 Mei, disebutkan tak ada deskripsi yang tepat untuk menggambarkan kecantikan alamnya. Bahkan, kirana taman laut yang terletak hanya beberapa jam dari Amboina, melebihi dari apa yang ia perkirakan sebelumnya.
Di Amboina juga Anna merasakan durian, yang digambarkannya,"Tidak ada buah yang bisa membandingkannya. Itu (durian) tidak mengandung jus, tidak manis, tidak asam, lebih mirip makanan dari pada penyegar," tulisnya dengan menambahkan buah ini tidak boleh diletakkan di atas meja hotel atau rumah tangga beradab mana pun.
Pelancongan Anna berbelok ke Dili, berlanjut ke Flores, hingga tuntas di Surabaya sekitar tahun 1886. Di sini, ia berpisah dengan rekan-rekan sesama pejalan, sembari menunggu kedatangan suami tercintanya.
Dalam ucapan pembuka bukunya yang terbit setahun kemudian, Anna menyimpulkan perjalanan itu sebagai menjalani hidup. Lengkap dengan kenikmatan, kesenangan, kemunduran, rasa tidak nyaman. Buku ini sendiri dianggap sebagai pegangan ringan bagi para pejalan yang ingin merengkuh keindahan Nusantara di masa lampau.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR