Perilaku monogami yang ditunjukkan oleh beberapa spesies mamalia terdengar romantis. Namun, ternyata perilaku tersebut dilakukan dengan alasan yang lebih rasional daripada sekadar rasa cinta kepada pasangannya.
Diberitakan AP, Senin (29/7/2013), dua tim peneliti berbeda menguraikan alasan kecenderungan mamalia untuk bermonogami. Alasan yang diuraikan kedua tim berbeda, tetapi keduanya setuju untuk tidak memasukkan unsur cinta dan romantisme di dalamnya.
Tim pertama dipimpin oleh Christopher "Kit" Opie, antropolog di University College London. Tim ini meneliti primata yang terdiri dari kelompok kera dan monyet.
Mereka menemukan bahwa hubungan monogami yang dijalin satu pejantan dan satu betina merupakan sebuah langkah agar sang ayah mampu melindungi anaknya supaya tidak dibunuh oleh pejantan lain.
Opie menganalisis perilaku 230 spesies primata dan memetakannya dalam sebuah pohon keluarga. Dengan menggunakan 10.000 model komputer dan penghitungan matematis tertentu, Opie memperoleh timeline kapan keturunan tertentu muncul.
Opie menemukan bahwa sebelum adanya perilaku monogami, angka pembunuhan bayi tinggi. Alasan pembunuhan adalah karena primata harus menyusui bayinya dalam waktu yang lama. Ini merepotkan bagi pejantan pesaing. Jadi, ketika "ayah" dilihat tak ada maka pejantan pesaing akan membunuh bayi-bayinya.
Tim lain yang dipimpin Clutton Brock, seorang profesor zoologi, bersama dengan Dieter Lukas dari University of Cambridge, kurang setuju dengan alasan Opie. Mereka mengatakan jika tidak ada bukti terjadinya pembunuhan bayi sebelum muncul perilaku monogami.
Dari sekitar 2.000 spesies mamalia, kecuali manusia, yang diteliti, tim Brock menyimpulkan bahwa perilaku monogami terjadi akibat adanya kecenderungan mamalia betina menyebar untuk mempertahankan buah-buahan baik dan sukar diperoleh. Ini menyulitkan pejantan mengawini betina lain.
"Pejantan tidak mampu mempertahankan lebih dari satu betina," ujar Lukas. Hal inilah yang memunculkan perilaku monogami.
Perbedaan hasil riset disebabkan karena kedua tim menggunakan metode dan jumlah sampel yang berbeda. Namun, hasil yang diperoleh keduanya telah meruntuhkan teori lama yang menyatakan bahwa perilaku monogami terjadi karena mamalia merasa dua orang tua akan lebih baik untuk mengasuh dan membesarkan anak mereka.
"Hubungan ini bukan mengenai keromantisan. Langkah ini hanyalah yang terbaik yang mampu mereka lakukan," ujar Lukas.
Studi ini telah dipublikasikan pada Senin (29/7/2013) di jurnal Science dan Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAs).
Tulisan Clutton Brock dan Lukas yang ada di Science tidak menyertakan manusia sebagai makhluk monogami, sedangkan tulisan Opie di PNAS, manusia dimasukkan dalam kategori monogami dan bukan monogami, terkait dengan perbedaan perilaku manusia di seluruh dunia.
Peneliti menyatakan ragu-ragu untuk memberikan kesimpulan atas perilaku monogami pada manusia. Hanya ditemukan kurang dari sembilan persen mamalia yang berpasangan secara monogami. Pada primata, hanya terdapat 25 persen yang memiliki perilaku seksual ini. Beberapa primata, misalnya siamang, berperilaku monogami. Namun, beberapa yang lain, misalnya simpanse, memiliki perilaku seksual yang berbeda.
"Monogami yang sempurna ditemukan dalam siamang, tetapi tidak pada manusia," ujar Opie.
Frans de Waal dari Emory University yang bukan bagian dari kedua tim, mengatakan, hasil penelitian Opie sebenarnya memiliki bukti yang mendukung. Sayangnya, bukti tersebut tidak mampu diperoleh secara utuh.
Ahli independen lain, Sue Carter dari the University of Illinois di Chicago, mengatakan bahwa terdapat dua hormon dalam tubuh spesies yang memiliki kecenderungan monogami. Kedua hormon tersebut berhubungan dengan perlindungan dan perilaku defensif (bertahan).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR