Jumadi, penduduk Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, adalah salah satu orang yang tergabung dalam Tim Peduli Puspa Langka. Kelompok ini punya keinginan mulia: menyelamatkan puspa langka tanah kelahiran mereka, diantaranya Amorphohallus titanum dan Rafflesia Arnoldii. Cita-cita ini pula yang membuat orang lain sulit bergabung dalam kelompok mereka. “Susah kalau bukan saudara. Karena kalau orang luar mereka selalu berpikirnya mendapatkan keuntungan,” papar Jumadi.
Sudah banyak lahan dibuka untuk perkebunan kopi di kawasan Kepahiang. Padahal, banyak pula umbi-umbi bunga bangkai yang tertanam di sana. Masyarakat membuka lahan dan menyiramkan herbisida untuk melenyapkan rerumputan.
Dari pembukaan ladang-ladang inilah mereka menyelamatkan umbi yang diterlantarkan. Umbi yang mereka angkut pernah mencapai hingga lebih dari 100 kilogram. “Ukuran lingkarnya seperti roda mobil L300,” kenang Jumadi. “Ketika baru diangkat sih agak ringan, tapi lama-lama berat sekali,” lanjutnya terkekeh.
Menurut Jumadi, setelah tanaman layu, bisanya bunga akan tumbuh. Bunga tertinggi yang pernah mekar menjulang hingga 3,45 meter di tempat ini, mengundang wisatawan dari Jepang hingga Belanda. Ia mengakui, tawaran pembelian kerap ia alami. Namun ia selalu menegaskan, bahwa ini adalah tanaman dilindungi, tidak bisa diperjual belikan.
Di daerah Kepahiang, sejumlah penduduk masih percaya akan mitos-mitos yang mendorong mereka mencacah tanaman atau bunga bangkai. “Batang titanum itu licin. Dengan corak seperti itu, memang mirip seperti ular. Saya saja sering kaget kalau ketemu di hutan,” ungkap Jumadi geli. Tak hanya di ladang, kelompok ini juga rela menjaga bunga raflesia ataupun bunga bangkai yang mekar di hutan. Kadang hingga satu bulan mereka bergantian menjaga siang malam agar tidak diambil orang, walau pernah juga kecolongan.
Beberapa nada sumbang sempat terdengar mengenai keberadaan kelompok ini. Ada yang berkata bahwa tujuan mereka adalah mencari keuntungan semata. Ada banyak faktor yang menyebabkan populasi bunga ini semakin menurun: pembukaan lahan yang semakin meluas, ekosistem yang semakin terganggu, dan populasi lalat penyerbuk yang semakin turun. Jika tim peduli puspa ini tak ada, bisa jadi nasib sang umbi yang berjuang puluhan tahun untuk hidup dan memekarkan bunganya yang membuat terpana setiap orang yang melihatnya, perlahan lenyap dari muka bumi.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR