Kampung itu terletak di pesisir pantai utara kota Dili. Jalan utama membelah kampung itu dari arah utara ke selatan. Di kiri kanan sepanjang jalannya berjejer-jejer bangunan toko satu lantai dari kayu berwarna hijau muda.
Di toko itu dijajakan pakaian dan aneka barang. Itulah Kampung Alor, tempat grosir pakaian di kota Dili, Timor Leste. Kampung itu dihuni sekitar 1.500 warga yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Merekalah para pedagang di sana. Mereka berasal dari Jawa, Sulawesi, dan Pulau Alor. Itulah mengapa disebut Kampung Alor.
Di sana juga berdiri masjid An Nur, satu-satunya masjid di kota Dili lantaran mayoritas penghuni kampung itu memeluk agama Islam. Suasana hari raya Lebaran terasa di kampung ini. Jalan utamanya sepi, toko-toko yang biasanya buka pada saat Lebaran tutup.
Para penghuni kampung ada yang duduk-duduk di depan toko yang juga sebagai tempat tinggal. Tapi di ujung jalan di arah selatannya masih ada toko yang buka. Saat didatangi sang pemiliknya sedang berdiri di muka kios sambil membereskan displai barang dagangan.
Ia seorang wanita asal Makassar namanya Hajah Erna, 35 tahun. Sejak tahun 2009 ia sudah membuka toko pakaian yang ia beri nama "Afni Busana". Apa yang membuatnya tertarik ikut berbisnis di kawasan itu? “Karena di sini pakai dolar,” jawabnya.
Ia memiliki sebuah toko di Makassar, tapi sejak bercerai ia pergi ke kota Dili karena diajak kakaknya, Rahman, yang juga memiliki toko pakaian di kampung itu. Toko di Makassar miliknya diserahkan kepada anak perempuannya yang sudah besar
Ia dan kakaknya kini memiliki tiga toko, yang letaknya saling bertetangga di jalan utama Kampung Alor. Nama semua tokonya sama yaitu, Afni Busana. Yang mengawali usaha ini adalah Rahman, 38 tahun, kakaknya.
Awalnya berdiri hanya satu toko. Lama kelamaan berkembang dan sekarang sudah ada tiga toko. “Semua barang saya ambil dari Tanah Abang (Jakarta),” jawabnya saat ditanya dari mana ia memperoleh barang dagangannya.
“Sekali sebulan saya belanja di Tanah Abang sebanyak 20 - 30 koli,” lanjutnya. Jenis pakaiannya celana jeans, jaket, dan baju wanita.
Ia mengapalkan barang dagangannya sampai kota Kupang lalu dibawa lewat jalan darat ke Dili lewat Kota Atambua. “Lebih murah lewat cara begitu dan untungnya bisa 100 - 200 persen!” ucap Rahman dengan bangga.
“Pajak masuknya 0,5 persen dari total manifes. Yang besar ongkos angkutan, mencapai 10 persen dari jumlah barang," lanjutnya.
Tidak mau membuat usaha konveksi sendiri? “Di sini sumber daya manusianya harus diproses dulu,” terangnya tentang SDM di Timor Leste. Ia takut usaha konveksinya gagal. Untuk membeli barang ia juga harus melihat tren. Tidak langsung membeli banyak tapi beberapa lusin dulu. Setelah tanggapan pasar baik ia perbanyak lagi pembelian.
Dibandingkan harga pakaian di kawasan perdagangan lain di kota Dili, Kampung Alor merupakan yang termurah karena di situ merupakan pusat grosir pakaian. “Banyak yang membeli untuk dijual lagi.” Jelas Rahman. Saingannya hanya toko-toko baju loakan atau baju bekas yang banyak tersebar di penjuru kota Dili.
Kampung Alor banyak dikunjungi pada hari-hari libur atau menjelang Natal. Pendapatan pertoko yang sehari-hari hanya US$300 - US$400 bisa melonjak sampai dua kali lipat. Usaha ini menguntungkan bagi Rahman dan adiknya Hajjah Erna.
“Kalau mata uang di sini masih dolar saya akan terus jualan. Tapi kalau punya mata uang sendiri bukan dolar, saya akan pensiun,” jelas Rahman.
Rahman adalah sedikit dari warga Indonesia yang jeli melihat peluang usaha di wilayah yang baru reda dari gejolak politik dan kemanan. Ia menjadi inspirasi bagi saudara-saudaranya untuk ikut membuka usaha di Timor Leste.
Cukup bermodalkan niat, kerja keras konveksi pakaian jadi dari Tanah Abang ia kini mulai berjaya di Kampung Alor Dili.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR