Meteor yang menumbuk Chelyabinsk di Rusia pada 15 Februari 2013 lalu masih menyisakan banyak peninggalan di Bumi. Meteor yang melepaskan energi 30 kali energi bom atom yang menghantam Hiroshima ini mendepositokan ratusan ton debu ke stratosfer.
Ini membuat satelit NASA berhasil melakukan pengukuran yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Perangkat ini menakar bagaimana materi yang ada membentuk sabuk debu stratosfer nan tipis namun kohesif dan tetap.
Dikatakan Nick Gorkavyi sebagai fisikawan atmosfer, awalnya pihak NASA ingin melihat apakah satelit mereka bisa mendeteksi debu meteor. "Nyatanya, kami melihat formasi baru sabuk debu di stratosfer Bumi dan melihat observasi luar angkasa pertama dari evolusi jangka panjang sebuah meteor," ujar Gorkavyi seperti dilansir Rabu (14/8).
Gorkavyi dan kolega mengombinasikan rangkaian pengukuran satelit dengan model dari atmosfer. Untuk kemudian mensimulasikan bagaimana debu dari meteor yang meledak berevolusi saat aliran stratosfer membawanya ke sekitar belahan utara Bumi.
Sekitar 3,5 jam pasca-tumbukan meteor terjadi, perangkat Ozone Mapping Profiling Suite yang ada di satelit NASA, mendeteksi debu di atmosfer pada ketinggian sekitar 40 kilometer dan bergerak cepat ke arah timur dengan kecepatan 300 kilometer per jam.
Sehari kemudian, debu itu terus melaju ke timur dan mencapai Kepulauan Aleut di utara Samudra Pasifik.
(Simak juga: Tujuh Fakta Ledakan Meteor di Rusia)
Empat hari pasca-tumbukan, porsi debu yang lebih besar sudah mengitari belahan utara Bumi dan kembali ke Chelyabinsk. Meski demikian, evolusi debu meteor itu masih berlangsung karena tiga bulan kemudian, sabuk debunya tetap mengelilingi planet kita.
"30 tahun lalu, kita hanya bisa menyatakan bahwa debu itu tertanam di aliran stratosfer. Sekarang, model ini membuat kita dengan tepat melacak dan memahami evolusinya saat ia memutari bola dunia," kata Paul Newman, Kepala Peneliti Goddard's Atmospheric Science Lab.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR