Bila keindahan pantai biasanya didefinisikan dengan pasir putihnya, lain cerita dengan pantai Teluk Penyu. Pantainya mayoritas berpasir gelap, namun ternyata pantai andalan Cilacap ini menawarkan hal-hal seru. Segera kami pacu kendaraan untuk mencapainya.
Penginapan kami terletak di tengah kota. Pagi itu, sekitar pukul 9, kami mengarah ke Teluk Penyu. Bertepatan dengan hari Senin, di mana banyak orang memulai aktivitasnya setelah beristirahat di akhir pekan. Perjalanan dari pusat kota ke arah Teluk Penyu hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Bahkan di hari Senin pun jalanan di kota Cilacap lengang.
Sinar matahari khas pesisir dan udara kering yang membakar kulit, sama sekali tidak menjadi masalah bagi saya. Sesampainya di Teluk Penyu, kami melipir sebentar ke sebuah kedai dan memesan sa-tu buah kelapa muda dingin, lengkap de-ngan beberapa camilan khas Cilacap.
Saya menjatuhkan tubuh di saung-saung kayu yang membujur di sepanjang Teluk Penyu. Dari kejauhan tampak beberapa kapal tanker raksasa yang sedang melaut. Pelabuhan Tanjung Intan yang menjadi tempat masuk kapal-kapal tanker tersebut.
Di sisi barat, terdapat kilang Pertamina yang berdiri kokoh. Dari bawah saung itu, saya juga bisa melihat Pulau Nusa Kambangan. Selain Nusa Kambangan, dari Teluk Penyu, Anda bisa menyewa kapal untuk mendatangi beberapa spot wisata yang tak kalah menarik.
Sebagai awal dari perjalanan, kami mulai dengan mengunjungi Benteng Pendem di Pulau Nusa Kambangan bagian timur. Benteng peninggalan Belanda yang bersejarah, menyimpan banyak pelajaran mengenai bagaimana perjalanan bangsa Indonesia dan kaitannya dengan kemerdekaan.
Selain itu, dengan menempuh per-ja-lanan menggunakan kapal nelayan selama sekitar 60 menit, Anda bisa mengunjungi kampung laut—area perkampungan di barat Cilacap. Tepatnya, di Segara Anakan.
Berbicara langsung dengan penduduk setempat, kami mendapatkan keterangan tentang leluhur anak-anak di perkampungan ini yang masih keturunan prajurit Mataram. Saat itu, para prajurit datang ke kampung laut untuk mengamankan wilayah perairan Segara Anakan dari serangan bajak laut asal Portugis.
Para prajurit dipimpin oleh empat orang, yaitu Jaga Playa, Jaga Praya, Jaga Resmi, dan Jaga Laut. Berkat bantuan mereka, Cilacap dan Segara Anakan terbebas dari ancaman bajak laut. Setelah keadaan aman, para prajurit justru memutuskan untuk terus bermukim di daerah itu.
Hingga awal ta-hun 1980, permukiman yang berada di sekitar daerah kampung laut berupa rumah panggung, seperti rumah Jawa pada umumnya. Rumah panggung ini ditopang tiang setinggi empat hingga tujuh meter, ditancapkan ke dasar laut pada waktu air surut.
Kerangka rumah terbuat dari tancang, yang mudah didapatkan di hutan bakau. Segara Anakan sendiri adalah sebuah laguna yang terhubung dengan Samudra Hindia, dan dipisahkan oleh Pulau Nusa Kambangan. Karena terhalang oleh pulau, perairannya menjadi tenang dan relatif aman.
Daya tarik lainnya yang bisa Anda raih, adalah Gua Masigit Sela. Dengan perjalanan 120 menit menggunakan kapal nelayan, gua ini wajib dikunjungi bagi Anda yang menggemari wisata ziarah. Konon gua ini dikenal sebagai masjid yang dimiliki oleh Nabi Ayub.
Siang itu, kami lalui dengan menghabiskan seporsi seafood ditemani nasi putih dan es kelapa. Setelah perut terisi penuh, kami siap me-lanjutkan perjalanan ke destinasi berikut—”kembaran” Benteng Pendem di tenggara Kota Cilacap. Dekat saja, sih. Tetapi perjalanan memang lebih mengasyikan bila stamina terjaga.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR