Tsunami yang melanda Aceh, Desember 2004, dan menewaskan lebih dari 130.000 jiwa memberi perspektif tentang daya rusak bencana geologi ini.
Namun, sepuluh tahun lewat, Indonesia dinilai belum siap. Padahal, tsunami serupa sangat mungkin kembali melanda Indonesia.
Karena itu, peningkatan kesiapsiagaan, baik perbaikan infrastruktur peringatan dini maupun pendidikan kebencanaan, harus dilanjutkan. Selain itu, yang juga sangat penting, terus belajar dari setiap bencana agar kawasan yang dibangun setelah bencana punya daya tahan lebih dari bencana serupa di masa mendatang.
Demikian pesan pada seminar internasional memperingati 10 tahun tsunami Aceh, di Jakarta, Senin (24/11). Seminar bertema "Peningkatan Daya Tahan Negeri Maritim dari Bencana Alam" itu kerja sama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS)–Tohoku University, Jepang.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membuka seminar mengatakan, berdasar pengalamannya di dua tsunami, Aceh (2004) dan Pangandaran (2006), masyarakat Indonesia belum siap menghadapi dan mengatasinya. Ketiadaan mitigasi bencana, minim kesadaran, dan kurangnya infrastruktur pencegahan tsunami turut menyebabkan banyaknya korban dan kerusakan.
"Semoga seminar ini memberikan masukan perbaikan kesiapan mitigasi dan menghadapi bencana," kata Susi. Mitigasi antara lain teknologi pencegahan dan penanganan korban bencana.
Khusus penanganan korban setelah bencana, kata Susi, paling penting adalah membangun ekonomi warga korban bencana jadi mandiri.
"Membangun infrastruktur dan rumah tahan gempa memang penting. Namun, paling penting membangun kembali perekonomian daerah bencana yang mandiri. Tanpa kemandirian ekonomi, tidak akan berkelanjutan," katanya.
Menurut ahli tsunami yang juga Direktur IRIDeS Fumihiko Imamura, salah satu kunci menghadapi tsunami adalah terus belajar dari kejadian. Sebelum tsunami Sanriku, Jepang, 11 Maret 2011, Jepang telah siap membangun tanggul pesisir setinggi 15 meter, hutan di pesisir, hingga pendidikan tsunami sejak dini.
"Kami punya banyak tsunami sehingga ada bias psikologi. Kami kira bisa mengatasi, tetapi tsunami 2011 lebih besar dari perkiraan dan antisipasi kami. Tanggul tak cukup mengatasi," katanya.
Masyarakat Aceh kembali tinggal di tapak bencana yang sama.
Menurut Imamura, ancaman tsunami menuntut terus belajar dari kegagalan. Berdasarkan pengalaman tsunami 2011, pihaknya mengusulkan perlindungan multilapis di pesisir. Zona pesisir rentan dikosongkan dari hunian, diganti kegiatan ekonomi baru.
Tanggul baru siap dibangun. Hutan di pesisir akan dibangun di atas tanah yang ditinggikan dengan harapan akar tanaman lebih kuat. Jalan lingkar di pesisir akan ditinggikan dan dijadikan tanggul pengaman tambahan.
Setelah tsunami itu, November 2011, Pemerintah Jepang mengeluarkan UU baru, yaitu Act on the Development of Tsunami Resilient Communities atau Act No 123/2011.
UU itu mengamanatkan pemerintah daerah di Jepang menata ulang kota mereka dengan memperhitungkan ancaman tsunami di masa datang. Salah satu konsekuensinya, pengosongan permukiman di kawasan terlanda tsunami dan direlokasi.
Berbeda dari Jepang, pembangunan Aceh setelah tsunami tak diikuti perubahan tata ruang. Rencana pengosongan kawasan pesisir terdampak tsunami, seperti diusulkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), gagal. Masyarakat Aceh kembali tinggal di pesisir, di tapak bencana yang sama.
Mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, banyak faktor yang membuat rencana induk itu sulit terwujud di Aceh.
Dinamika sosial, budaya, dan politik di Aceh sangat khas. Sebelum tsunami, wilayah itu provinsi termiskin keempat di Indonesia.
"Di Aceh sebelumnya juga ada konflik," katanya.
Baca pula refleksi satu dekade pascabencana tsunami Aceh, yang dikisahkan dalam feature NGI Desember 2014: Mengelak dari Sang Ombak.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR