Sebagai petualang laut, kiprah Effendi Soleman sudah dimulai pada 1981 dengan ikut berlayar bersama kapal Phinisi. Pada Maret 1983, ia menemani Yamamoto – petualang laut asal Jepang dalam perjalanan perahu tradisional dari Jakarta sampai Sri Lanka. Sayangnya, perahu bercadik ganda pinjaman dari Aristides Katoppo, tokoh petualang Indonesia, ini harus kandas di Pulau Nias.
Tahun 1988, Effendi membuat pelayaran tunggal dari Jakarta ke Brunei Darussalam pergi pulang. Perahu yang ia pakai adalah buatan bangsa sendiri yang diberi nama Cadik Nusantara. “Perahu ini waktu itu dibuat di PT Karya Isthika Tirta (KIT) di Muara Dadap, Tangerang,” kata Effendi dalam sebuah kesempatan. Selama sekitar 100 hari, lelaki kelahiran Jakarta 23 April 1951 itu sukses merengkuh pelabuhan Bandar Seri Begawan.
Tahun sebelumnya, Effendi sempat menjajal Cadik Nusantara berlayar seorang diri ke Pulau Bangka. Pelayaran bolak-balik ini berhasil dituntaskannya dalam rangka praekspedisi laut ke Brunei Darussalam.
Kisah petualangan laut lelaki yang pernah menjadi ketua SPECAVINA Jakarta – kelompok penelusur gua—tak berhenti sampai di situ. Pada 1990, ia mengikuti lomba layar Internasional Darwin – Ambon dan mengadakan Ekspedisi Wartawan Cadik Nusantara.
Agustus 1991, Effendi yang dijuluki Dewa Laut oleh rekan-rekannya itu membuat ekspedisi seorang diri ke Masalembo. Tapi sayang, cross beam kapal rusak berat akibat terpaan angin kencang. Akhirnya pelayaran pun tak diteruskan.
Tahun 1992, pegiat kegiatan alam bebas ini melanjutkan kisah bersama Yamamoto—pria kebangsaan Jepang yang punya hobi berlayar dengan perahu tradisional di Asia. Ia menjadi asisten nakoda dalam kapal yang dibuat berdasar relief Candi Borobudur. Oleh Presiden Soeharto, kapal ini diberi nama “Damar Sagara”.
Pada 1996, Effendi menggelar ekspedisi laut sendirian dengan Cadik Nusantara. Tujuannya, Penang, Malaysia. Jakarta – Penang pergi pulang berhasil dilewatinya.
Effendi mengenal Yamamoto pada Maret 1983. “Waktu pertama kenalan dulu, dia bilang punya cita-cita naik perahu tradisional sendirian dari Jakarta sampai Sri Lanka.”
Setelah lihat-lihat dan meneliti beragam bentuk perahu rakyat, akhirnya Yamamoto kepincut dengan perahu bercadik ganda yang dilihatnya di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Pemiliknya, Aristides Katoppo. “Waktu dulu saya sering mendaki gunung dengan Tides (Aristides Katoppo-red). Akhirnya, Yamamoto dapat izin pakai perahu itu ke Sri Lanka lewat Selat Sunda,” kisah Effendi sambil terkekeh.
Tawaran pergi melaut ke Sri Lanka segera disambar Effendi. Tahun 1983 ia menemani Yamamoto dalam perjalanan itu. Sayangnya, kapal ini harus kandas di Pulau Nias.
Pada 1996, Effendi menggelar ekspedisi laut sendirian dengan Cadik Nusantara. Tujuannya, Penang, Malaysia. Jakarta – Penang pergi pulang berhasil dilewatinya.
Tahun 2003, Effendi merencanakan pelayaran tunggal keliling Nusantara - Sabang sampai Merauke - dengan perahu Cadik Nusantara Dua. Pada 17 Oktober 2003, ekspedisi yang bertajuk “Satu Indonesiaku” itu dilepas oleh Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (saat itu), Rokmin Dahuri di pantai Marina, Ancol, Jakarta Utara.
Ketika itu, ia memutuskan untuk menjalani etape pertama yang mengambil rute Jakarta – Tanjung Pandan (Belitung) – Toboali (Bangka) – Muntok (Bangka Utara) – Sungai Tak Ning (Riau) – Pulau Rupat (Bengkalis) – Dumai (Riau) – Banten – Jakarta. Seperti yang sudah semua rute laut tadi akan ditempuh seorang diri.
Perjalanan seorang diri di laut kembali ia lakoni pada 2013. Ia menggelar ekspedisi Lintas Nusa bali – Brunei dengan menggunakan perahu tradisional, jukung. Selain dilakukan seorang diri, Effendi kini berada di usia yang bisa dibilang tak muda lagi, 62 tahun.
(Baca: Sepenggal Kisah Petualangan Effendi Soleman ke Brunei)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR