Pada 2010, kajian menunjukkan bahwa 57,8 persen warga Jakarta menderita beragam penyakit akibat pencemaran udara. Penyakit-penyakit misalnya asma, bronkopneumonia, ISPA, paru obstruktif kronis atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD), membuat biaya kesehatan yang ditanggung hingga 38,5 triliun rupiah. (Baca: Rp38,5 Triliun Biaya Berobat Akibat Pencemaran Jakarta)
Berdasarkan kajian Cost Benefit Analysis on Fuel Economy Policy in Indonesia", hasil kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan badan UNEP USEPA itu juga disimpulkan menurunnya produktivitas yang disebabkan penyakit yang bersumber dari pencemaran udara, dan menurunnya kualitas hidup sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemangku kepentingan telah mulai menyusun kebijakan baru yang dapat mengendalikan tingkat pencemaran dan menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia dari sektor transportasi darat. Disampaikan pada forum diskusi di Jakarta (12/9), sembilan kebijakan berhasil diformulasikan dari perbandingan estimasi biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis) yang diproyeksikan dengan kebijakan yang menghasilkan manfaat tertinggi dengan biaya per unit terendah (Cost Effectiveness Analysis).
M.R. Karliansyah, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH memaparkan, "Analisis cost-effectiveness dari sembilan kebijakan menunjukkan bahwa konversi ke bahan bakar gas untuk transportasi yang paling efektif. Alias paling murah di antara delapan kebijakan lain. Sementara itu, adopsi teknologi hybrid dan penyediaan angkutan umum adalah kebijakan kedua dan ketiga termurah."
"Sedangkan bila analisis berdasarkan pertimbangan antara cost-benefit dan cost-effectiveness, pengembangan angkutan umum adalah kebijakan terbaik, karena memiliki manfaat ekonomi tertinggi dan termurah dalam penurunan emisi per juta ton," ungkapnya.
Sembilan kebijakan yang dirumuskan meliputi hal-hal berikut: shifting pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, penetapan efisiensi bahan bakar, konversi bahan bakar gas, penerapan teknologi hybrid, penghapusan kendaraan berusia 10 tahun ke atas, konversi bahan bakar nabati, dan percepatan penerapan standar kendaraan bermotor.
Baca juga berbagai tautan ini:
38 Juta Kendaraan Sesaki Jakarta
Pisang Pinang jadi Bahan Bakar Nabati
Standar Emisi Sepeda Motor Diperketat Agustus 2013
Menurut Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin, buruknya kualitas udara di Jakarta disebabkan asap kendaraan. Polusi udara sudah sangat parah sampai ketika orang berada di jalan, dapat tercium bau bensin menempel pada kulit dan pakaian yang melekat.
Tanpa upaya konkrit, kadar pencemaran udara di DKI Jakarta pada 2030 akan meningkat empat kali untuk PM10 (Particulate Matter), belerang dioksida dan karbon monoksida, serta tujuh kali untuk ozon dan nitrat. Demikian halnya, gas rumah kaca (GRK) dalam hal ini gas karbon dioksida akan meningkat sebanyak tiga kali lipat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR