Tujuan kali ini, mengunjungi pabrik mi Revolusi yang memproduski mi lethek cap Garuda. Yasir Feri Ismatrada, sang pemilik pabrik, menyambut saya dan tim di muka pabrik di Dusun Bendo, Desa Trimuri, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta.
Dengan ramah, ia menyilakan kami memasuki bangunan pabrik sederhana, yang menyatu dengan rumah tinggal Feri dan keluarganya. Di dinding sisi kiri, terpampang kliping koran, yang antara lain menampilkan profil Feri, dan menyebutkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penggemar mi organik berwarna kuning gading keabuan ini—karenanya disebut lethek, dalam Bahasa Jawa berarti kusam.
Di pabrik berlangit-langit tinggi ini tidak terlihat adanya penerangan. Cahaya surya menyeruak masuk dari sela-sela jendela kayu. Juga, tidak ada bebunyian bising dari peralatan yang ada. Hanya terdengar suara obrolan belasan pekerja berusia lanjut di sisi kanan pabrik. Dengan sangat terampil, mereka mencetak mi secara manual berbentuk persegi panjang seperti batu bata pipih, menyusunnya berderet-deret di atas tampah persegi panjang dari anyaman bambu.
Tak jauh dari mereka, terdapat peralatan tradisional yang digunakan untuk memproduksi mi lethek. Jadi keasyikan tersendiri melihat peralatan tradisional di pabrik ini, besar dan unik! Terlebih, hanya pabrik ini saja yang masih mengoperasikan peralatan tradisional hasil inovasi mengagumkan dari Mbah Umar Bisyir Nahdi, kakek Feri, hampir tujuh dekade lalu.
Dua ”blender” raksasa digunakan untuk mengaduk rata adonan mi dari bahan tepung tapioka dan gaplek. Blender ini terdiri dari ”lumpang” raksasa berdiameter sekitar dua meter dengan ”ulekan” batu silinder raksasa dilengkapi gagang yang diikatkan pada seekor sapi jantan.
Mekanismenya sederhana: sapi berjalan mengitari blender selama satu hingga tiga jam, sehingga ulekan raksasa tunai mencampur adonan hingga merata, lalu dimasak atau dikukus dalam periuk raksasa berbentuk silinder, setelah itu dipres menjadi helai-helai mi lethek yang legendaris itu.
Hanya blender raksasa itu saja warisan Mbah Umar yang masih dioperasikan sampai sekarang. Sementara alat pres mi raksasa yang berada di dekatnya mengalami kerusakan pasca gempa lima tahun lalu. Kami hanya bisa mem-bayangkan betapa megahnya alat pres mi sepanjang 4 meter ini, saat Feri men-ceritakan teknik pengoperasiannya.
“Saat dioperasikan oleh empat pekerja, bunyi alat yang dioperasikan sejak sore hingga dini hari ini terdengar sampai seantero desa,” kata Feri tentang alat pres yang menyerupai katapel raksasa di era Romawi atau Arab kuno ini.
“Ya inilah keunikan alat rancangan mbah saya. Alat ini pernah ditawar orang Jakarta sekitar lima puluh juta perak. Tetapi saya bertekad, tidak akan pernah menjualnya,” sambung pria itu.
Saya memperhatikan tangan-tangan renta para pekerja di ruang produksi, dan mengagumi keterampilan mereka mencetak mi secara manual dalam bentuk dan ukurannya relatif seragam meski tanpa alat cetak.Keterampilan yang ditempa oleh waktu berpuluh tahun lamanya. Mi yang disusun berderet-deret di atas tampah itu lalu dijemur di pekarangan.
Tampak satu dua pekerja dengan tubuh terbungkuk telaten membenahi tata letak mi satu per satu di tampah yang melorot karena dijemur dengan kemiringan 45 derajat. Jumlah tampah di pekarangan? Sekitar seribu saja! Terik matahari yang menerpa tidak menyurutkan semangat mereka, yang bekerja satu hari sekali (satu hari produksi, satu hari libur), sejak pukul delapan pagi hingga tiga sore.
Salah seorang yang saya temui di pekarangan, Mbah Ngatimin (75). Dengan suara parau terbata-bata, kakek dari enam cicit ini menceritakan sosok Mbah Umar yang sudah dikenalnya sejak clash pertama atau Agresi Militer Belanda I, dua tahun pasca Kemerdekaan RI pada tahun 1945.
Ia merasa telah diayomi dengan sungguh-sungguh, karenanya ia setia mengabdi sebaik-baiknya. Kesetiaannya juga ia tularkan pada keluarganya, dari istri, anak, cucu, hingga cicit. Keluarga pemilik dan pekerja pabrik mi lethek ini saling menghormati satu sama lain.
Seraya menunjuk lantai semen pekarangan, Feri mengungkapkan, “Di bawah sini, dulu, si mbah membangun bungker tempat tentara kita bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.”
Meski berjasa dan menyandang nama besar, si mbah, sebagaimana dikenang Feri, tidak ingin anak cucunya memanfaatkan jasa atau nama besarnya. “Kami harus menjadi besar atas usaha sendiri. Kini, saya melanjutkan usaha si mbah bersama para pekerja yang sejak awal mengabdi padanya. Saya tidak pernah menunggui mereka bekerja. Mereka sudah otomatis melakukan pekerjaannya,” kata Feri
“Saya pernah mengata-kan pada mereka, ‘Jadi mi ya kamu, nggak jadi mi ya kamu. Laku dijual ya kamu, nggak laku dijual ya kamu'," ujarnya. Kunjungan ke pabrik mi lethek kali ini membuat kami “kenyang” pembelajaran berharga tentang loyalitas, dedikasi, dan semangat melestarikan warisan leluhur yang tak lekang oleh waktu.
Kisah lebih lengkap perjalanan ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler edisi April 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR